Hardy Boys Franklin W Dixon Misteri Selat Penyelundup Judul asli MYSTERY OF SMUGGLERS COVE 1981 Terbit di Indonesia: September 1982 ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Chapter 1 BUKTI PALSU Telepon berdering. Frank dan Joe Hardy mendongak sejenak. Mereka sedang asyik bermain catur di ruang duduk, di rumah mereka di kota Bayport. "Jangan-jangan untuk kita," kata Frank. "Kita akan segera tahu," kata Joe. "Bibi Gertrude sudah mengangkatnya di kamar tengah." Gertrude Hardy, yang tinggal pada keluarga itu sejak lama, menjenguk dari balik pintu. "Frank, pak Wester ingin berbicara dengan engkau." "Pak Wester?" "Engkau tentu ingat, pemilik bank yang sudah pensiun itu. Ia juga dikenal sebagai pengumpul benda-benda seni." "O ya, betul. terimakasih, bibi." Frank beranjak dari duduknya, pergi ke kamar besar. Ia mengangkat gagang telepon. "Pak Wester? Di sini Frank Hardy." "Aku ingin bertemu dengan engkau dan Joe," kata suara di dalam telepon. "Dapatkah kalian segera datang kemari?" "Tentu, pak! Ada apa sebenarnya?" "Aku sedang mencari beberapa penjahat. Engkau dan adikmu mungkin akan tertarik. Aku ingin bertemu dengan kalian, sebelum aku memanggil polisi!" Pak Wester menutup pembicaraan, dan Frank kembali ke kamar duduk. Ia mengatakan kepada adiknya, apa yang dikatakan oleh penggemar barang antik itu. "Wah!" kata Joe. Rupanya maling-maling itu telah membuat dia kalap! Ayo kita berangkat!" Kedua pemuda itu lari keluar. Frank yang berumur delapanbelas, duduk di belakang kemudi mobil sport kuning mereka. Pemuda berambut hitam itu setahun lebih tua dari Joe, adiknya yang pirang. Joe lalu duduk di sampingnya. Kedua pemuda tersebut sangat dikenal sampai ke luar kota tempat tinggalnya, sebagai detektif amatir yang sangat cerdik. Frank mengemudikan mobilnya melalui Jalan Elm ke jalan raya. Tak lama kemudian mereka tiba di rumah Raymond Wester, di luaran kota Bayport. Rumah itu hampir seperti istana. Dikelilingi halaman luas berumput dan pohon-pohon besar. Frank memarkir mobilnya di jalan masuk halaman. Ia dan adiknya melihat seorang nyonya, memandangi mereka dari jendela ruang atas. Nyonya itu mengangkat tangannya, dan mereka melihat sesuatu yang tajam mengkilat di tangannya. Joe menahan napas. "Nyonya itu seperti memegang sebilah belati!" "Ya, nampaknya," kakaknya mengiakan. "Aku heran, mengapa ia berbuat demikian." Nyonya itu bergerak dari jendela, dan menghilang dari pandangan. Kakak beradik itu turun dari mobil, langsung menuju ke pintu depan. Joe hendak membunyikan bel. Tetapi belum sempat tangannya menekan tombol, pintu terbuka sedikit. Benda tajam mengkilat itu nampak di celah pintu! Secara naluriah mereka mundur! Ketika pintu terbuka lebar, mereka berhadapan dengan nyonya yang nampak di jendela tadi. Tangan kanannya memegang sebilah pisau pembuka surat, dan tangan kirinya memegang setumpuk surat. "Aku melihat kalian datang," kata nyonya itu. "Karena itu aku turun untuk membukakan pintu. Aku nyonya Summers, pengurus rumah tangga. Tuan Wester telah menunggu kalian." Ia mengantarkan mereka melintas kamar besar, menuju ke kamar kerja tuannya. Raymond Wester, yang bertubuh kecil berambut putih, duduk di belakang meja tulis besar. Sejumlah lukisan tergantung di dinding. Hanya di atas perapian nampak suatu tempat yang kosong. Sebagian dari tembok, berwarna lebih tua dari sekelilingnya, menandakan, bahwa belum lama di tempat itu masih tergantung sebuah lukisan. Pak Wester mempersilakan mereka duduk pada kursi di depan meja tulisnya. "Kukira kalian ingin tahu, mengapa aku minta kalian datang kemari," ia memulai pembicaraan. "Betul, pak," Frank mengaku. "Kecuali, bahwa anda menyebutkan penjahat-penjahat." Pak Wester mengangguk. "Mereka telah merampok aku." "Apa saja yang hilang?" Pak Wester menunjuk ke tempat kosong di atas perapian. "Lukisan yang biasanya tergantung di situ telah hilang. Berupa potret Simon Bolivar, yang sangat tinggi harganya. Kukira kalian tahu siapa Simon Bolivar itu." Joe tersenyum. "Kita mempelajarinya dari pelajaran Sejarah di sekolah. Ia merupakan George Washington-nya Amerika Selatan. Ia telah menghantam bangsa Sepanyol, seperti Washington memukul bangsa Inggris." "Karena itu ia disebut Liberator, Pembebas bangsa," sambung kakaknya. "Kalian menguasai pelajaran Sejarah," pak Wester memuji. "Nah, lukisan Bolivar-ku itu telah hilang. Lenyap begitu saja!" "Kapan hal itu terjadi, pak?” tanya Frank. "Dua minggu yang lalu. Aku sedang ada di Eropa. Ketika aku pulang siang tadi, lukisan itu telah hilang." "Anda tak punya persangkaan, siapa yang telah mengambilnya?" tanya Frank. "Engg,kuceritakan saja apa yang telah terjadi. Sebelum aku berangkat bulan lalu, aku menyuruh sekertarisku, Mark Morphy, untuk mengambil lukisan itu. Ia juga kusuruh mengirimkannya kepada adikku Harrison yang tinggal di Key Blanco, Florida. Sejak dulu, Harrison menginginkan lukisan itu. Karena itu, bulan lalu aku sepakat untuk memberikannya kepada dia." "Dengan cara bagaimana lukisan itu dikirimkan?" tanya Frank. "Lukisan itu terlalu berharga untuk dikirimkan melalui pos atau perusahaan pengiriman barang. Aku minta kepada Morphy, agar menyewa dua orang untuk menjaganya dengan mobil ke Florida. Morphy sendiri harus ikut, untuk ikut mengawasi lukisan itu setiap waktu." "Apakah dapat terus bermobil sampai ke Key Blanco?" tanya Joe. "Tidak. Hanya sampai di Key West. Dari sana harus menggunakan perahu. Sebelum keberangkatanku ke Eropa, aku menelepon Harrison. Kukatakan, bahwa lukisan itu akan segera dikirim kepadanya. Tetapi ketika aku pulang hari ini,ia menelepon dan mengatakan bahwa lukisan itu tak pernah datang!" "Apakah anda telah melapor kepada polisi?," tanya Frank. "Mungkin terjadi kecelakaan. Polisi tentu dapat menemukan mobil itu antara sini dengan Florida. " Pak Wester menggeleng. "Seperti yang kukatakan di telepon, aku lebih senang menghubungi kalian dulu. Bagaimana pun, jika mobil itu mengalami kecelakaan, Morphy tentu menelepon!" "Anda tak mendengar berita sama sekali tentang sekertaris anda?" "Tak sepatah kata pun! Aku kawatir, jangan-jangan ia telah diculik oleh dua orang sewaan itu. Harap kalian dapat mengerti, aku tak pernah mencurigai dia terlibat dalam suatu kejahatan." "Apakah Morphy mempunyai identitas dua orang sewaan itu?" tanya Joe. "Misalnya, dengan meninggalkan nama?" "Ya," kata pak Wester. "Ia meninggalkan potret mereka." "Itu bagus!" kata Frank. "Dengan demikian, kami dapat pergi kepada pak Collig di markas kepolisian, untuk mencocokkan potret itu dengan yang ada di berkas-berkas mereka." "Kukira tak perlu hal itu," kata pak Wester seperti acuh tak acuh. "Aku yakin, kalian sendiri tentu dapat mengenalinya!" "Mengapa, pak?" tanya Joe dengan heran. Pensiunan pemilik bank itu mengeluarkan sebuah potret dari laci, dan memberikan kepada Frank dan Joe. "Ini!" Kedua detektif muda itu terperanjat memandangi potret tersebut, sebab mereka menghadapi potretnya sendiri! Chapter 2 TAK PUNYA ALIBI "Morphy sungguh cerdik, pak Wester!" kata Joe akhirnya. "Kami belum pernah melihat lukisan itu. Bahkan bertemu dengan Morphy pun belum pernah!" "Di samping itu, kami adalah detektif! Bukan orang sewaan!" sambung kakaknya tegas. "Yang jelas, bukan penjahat!" Joe menambah. Rupa-rupanya pak Wester tak tergoyahkan. "Kalian dapat saja menggunakan nama baik kalian sebagai penumpas kejahatan itu, justru sebagai kedok! Semua orang di Bayport tahu, bahwa kalian telah berhasil memecahkan banyak perkara. Mungkin saja kalian berpendapat, tentu tak akan dicurigai! Itu foto kalian, bukan!" "Memang," Frank mengaku. "Tetapi itu tak membuktikan apa-apa. Saya mengenali foto itu. Dibuat oleh Andy Anderson dari suratkabar Bayport Timer pada suatu wawancara. Morphy tentu mendapatkannya dari arsip suratkabar itu!" Pak Wester hanya mengangkat bahu. "Seandainya itu betul, ia tetap menyebutkan kalian sebagai orang sewaannya. Di mana kalian berada dua minggu yang lalu, ketika lukisan itu dicuri orang?" "Kami sedang berlibur di Maine," jawab Frank. "Olahraga jalan kaki sepanjang Appalachian Trail. Olahraga kaki yang ..." "Itu kata kalian!" sela pak Wester tetap curiga. "Ada yang melihat kalian?" “Memang tidak," Frank mengaku. "Kami memang tak mempunyai alibi semacam itu. Kami memang tidak terlibat!" "Kami kira, ia hendak melemparkan kecurigaan kepada kami," Joe menjelaskan. "Bagi kami, dialah tersangka pertama!" "Tetapi kalian dapat saja bersekongkol dengan dia!" pak Wester mendebat. "Mungkin saja ia menghilang dengan lukisan itu, dan membiarkan kalian sebagai kambing hitamnya!" Frank dan Joe saling berpandangan. Baru kali dalam hidup mereka, dicurigai sebagai penjahat! "Coba kita periksa, apakah pencuri yang sesungguhnya itu meninggalkan jejak," usul Joe. "Kami harus tahu sebanyak-banyaknya dari peristiwa pencurian ini. Apakah ada yang dapat menceritakan, bagaimana terjadinya?" "Nyonya Summers," kata pak Wester. "Seperti kalian belum tahu saja!" Pak Wester memanggil pengurus rumah tangga. Nyonya itu masuk ke kamar kerja, dan memandangi kakak beradik itu dengan curiga. Majikannya minta diceritakan, tentang hilangnya lukisan itu. "Ketika tuan Wester ada di Eropa," nyonya itu menjelaskan, "tuan Morphy yang bertanggung jawab di sini. Ia mengatakan kepada saya, bahwa ia mendapat perintah untuk mengambil lukisan itu, dan membawanya ke tuan Harrison Wester. Katanya, ia telah menyewa dua orang suruhan, untuk membawanya dengan mobil ke Key Blanco. Ia juga meninggalkan petunjuk-petunjuk yang terperinci di dalam laci." "Itulah kami," Joe menyambung. "Susahnya, Morphy tak pernah memberitahu kepada kami mengenai rencana-rencananya! Apakah ia mengatakan yang lain-lain lagi?" "Aku tak tahu sama sekali tentang rencana itu!" tukas pengurus rumah tangga itu. "Tentu saja tidak," kata Frank menenteramkan. "Kami hanya mengharap, agar nyonya menceritakan apa yang terjadi setelah itu." "Hari berikutnya, tuan Morphy memberi libur sehari kepada semua karyawan di sini. Ketika kami masuk kembali, lukisan itu sudah tidak ada. " "Morphy sendiri juga tidak ada?" "Betul," jawab nyonya itu. "Aku juga tak melihat dia lagi sejak itu." Pak Wester memandang kedua pemuda itu dengan tajam. "Aku tetap berpendirian, bahwa kalian mungkin terlibat. Kalau memang tidak, kalian harus dapat membuktikannya!" Joe berpendapat, "Bagaimana kalau Morphy hanya berpura-pura saja mengirimkan lukisan itu? Tetapi sebenarnya hanya menyembunyikannya saja di sini?" "Apakah kami boleh memeriksa rumah ini?" Frank menyambung, setelah menangkap maksud adiknya. "Silakan," kata pensiunan pemilik bank itu. "Nyonya Summers akan mengantar kalian berkeliling. Lukisan itu kira-kira berukuran enampuluh kali seratus duapuluh senti. Tentu mudah ditemukan, jika memang masih ada disini." Frank dan Joe memutuskan, untuk memulai pemeriksaan dari atas terus ke bawah. Mereka mengikuti nyonya Summers naik ke loteng. Tempat itu berdebu, memanjang di bagian lantai atas. Penerangan yang ada, hanya dari dua buah jendela kecil yang terdapat di langit-langit atap yang miring. Dari pemeriksaan yang singkat mereka yakin, bahwa lukisan yang hilang itu tak ada di rumah tersebut. Nyonya Summers menunjukkan ke bagian lantai dua, tempat tinggal para pembantu rumah tangga. Tak ada sesuatu pun yang mereka temukan. Di lantai kamar pak Wester pun tak ada hasilnya. "Kita sia-sia menemui tempat kosong!" kata Frank kecewa. "Kesempatan terakhir hanya tinggal ruangan bawah tanah," kata Joe. "Mari kita…." "Tak ada sesuatu di sana!" nyonya Summers menyela. "Aku sendiri telah melihatnya." "Kita harus membuat laporan yang lengkap," kata Frank membujuk. "Apakah anda berkeberatan, jika kita melihatnya sebentar?" Nyonya itu mengangkat bahu, lalu membuka pintu ruangan bawah. Semuanya turun melalui tangga yang goyah. Ruangan bawah tanah itu berdinding batu bata yang terbuat dari abu arang yang dipres, dan lantainya dari semen. Pada suatu sudut terdapat sebuah tungku dan alat pemanas air. Di dekatnya ada sebuah bangku kerja, memanjang ke seluruh dinding. "Tuan Wester menggunakan meja itu untuk memperbaiki lukisan-lukisannya," nyonya itu menjelaskan. Pada sudut yang paling gelap, Joe mendapatkan sebuah gelang-gelang besi, tergantung pada dinding. "Untuk apakah ini?" ia bertanya. "Aku tak tahu!" tukas nyonya itu. "Nah, bisakah kita kembali sekarang ?" "Tunggu sebentar," kata Frank. Ia sedang memperhatikan gelang besi itu. "Nampaknya seperti pegangan pembuka pintu. Mungkin ada sebuah pintu pada dinding ini." Ia memutar gelang-gelang itu, lalu menariknya kuat-kuat. Sebagian dari batu bata abu arang itu bergerak ke samping! "Ruangan rahasia!" seru Frank. "Jangan-jangan lukisan itu ada di sini!" Kedua pemuda itu masuk. Mereka berada di dalam sebuah ruangan kecil, yang dinding belakangnya hanya mendapat cahaya dari ruang bawah tanah. "Wow!" seru Joe. "Siapa yang membuat ini? Untuk apa?" Frank mengangkat bahu. "Yang membuat rumah ini pula, kukira. Barangkali pak Wester tahu, untuk apa gunanya." Mereka memeriksa dinding-dindingnya dengan teliti. Mereka begitu asyik mengamati, sehingga tanpa mereka sadari pintu dinding di belakang mereka menutup. Ruangan itu menjadi bertambah gelap, karena satu-satunya penerangan telah tertahan oleh pintu yang tertutup. Klik! Mereka mendengar pintu terkunci, dan mereka berada dalam ruangan yang gelap gulita! Frank melompat ke pintu dan berusaha membukanya, tetapi kedua tangannya hanya bertahan oleh dinding yang kokoh! "Nyonya Summers!" ia berseru. "Tolong keluarkan kami!" Nyonya itu tak menanggapi. "Seharusnya ia mendengar suara kita!" kata Joe tegas. "Pintu itu tak seberapa tebal." "Stt! Kata Frank, sambil berusaha mendengarkan suara langkah kaki nyonya Summers. Tetapi yang ada hanya kesunyian! Dengan kalap, Frank meraba-raba ke sekeliling dalam kegelapan, mencari-cari, kalau-kalau terdapat pegangan pembuka pintu. Tetapi jari-jarinya hanya merasakan batu bata abu arang. "Joe!" serunya. "Kita terperangkap!" "Barangkali masih ada jalan keluar yang lain," kata adiknya memberi semangat. Ia berjalan menyusuri sepanjang dinding, meraba-raba mencari lubang jalan keluar. Tiba-tiba kakinya menginjak tempat yang kosong! Sambil memekik ia jatuh ke dalam lobang. "Joe! Engkau tak apa-apa?" seru kakaknya khawatir. Tak ada jawaban! Frank berdiri tertegun diam, mencoba mengusir rasa panik yang menyergap. Frank melompat turun ke sisi adiknya, lalu menggoyang-goyangkan tubuh yang tak bergerak itu. Tiba-tiba ia teringat, bahwa ia membawa lampu senter kecil di saku belakang celananya. Ia menyalakannya, dan mengarahkan sinarnya ke arah suara adiknya. Cahaya senter itu menerangi tangga empat tingkat dari kayu, dan Joe meringkuk di bawah tangga! Joe membuka matanya, meraba-raba kepalanya, lalu mencoba bangun. "Lain kali, kalau aku hendak loncat indah, aku harus melihat dulu, ada airnya atau tidak," Joe menggerutu. "Untung tidak cedera, hanya benjol sedikit di kepala." Frank mengarahkan cahaya senternya ke depan. Mereka melihat, ternyata mereka berada di dalam sebuah terowongan sempit, tapi tak seberapa panjang, lantainya miring ke atas. "Barangkali ada pintu di depan itu," katanya. "Mari kita lihat." Ia mendahului sambil berjalan membungkuk, karena langit-langit semakin rendah. Tetapi setelah diselidiki, di depan hanya ada dinding yang menghalang. "Jalan terakhir bagi kita," kata Frank. "Kita berada di dalam terowongan buntu!" Joe meraba-raba langit-langit yang rendah itu. Tiba-tiba jari-jarinya meraba sebuah gerendel, yang masuk ke dalam kaitannya dengan kuat. "Nanti dulu," katanya. "Ini mungkin jalan keluar." Dengan sekuat tenaga ia menarik gerendel dari kaitannya, lalu mendorong ke atas. Sebagian dari langit-langit itu menguak terbuka ke atas, memasukkan cahaya dari luar. Mereka menjadi silau dan terpaksa mengedip-ngedipkan mata, setelah sekian lama ada di dalam kegelapan. Mereka memanjat ke atas, dan tiba di semak-semak sisi rumah, dekat dengan jalan masuk. Joe menurunkan pintu, kembali menutup lubang. Kini tempat itu menjadi samar, tak kentara dalam semak-semak. "Suatu cara yang bagus untuk menyembunyikan jalan rahasia," kata Frank. "He! Apa ini?" Kakinya tersandung sesuatu di semak-semak. Ia membungkuk, dan memungut sebuah pisau lipat yang tangkainya berwarna kuning. Salah satu sisinya bertuliskan huruf I.N. "Singkatan nama pemiliknya?" kata Frank dengan gairah, sambil menunjukkan kepada adiknya. "Mari kita selidiki, apakah cocok dengan nama salah seorang penghuni rumah." Mereka memutar menuju ke pintu depan, lalu membunyikan bel. Nyonya Summers membuka pintu dan nampak terkejut melihat mereka. "Pintu ruangan bawah tanah itu menutup sendiri," katanya. "Aku tak dapat membukanya, lalu pergi mencari bantuan. Aku hendak minta tolong kepada tuan Wester, tetapi beliau sedang menelepon." "Kami menemukan jalan keluar yang lain," kata Frank memberitahu. Kemudian ia memandangi nyonya itu dengan tajam. "Apakah singkatan nama I.N. mempunyai sesuatu makna tertentu bagi anda, nyonya Summers?" Nyonya itu nampak terkejut, tetapi menggelengkan kepala. "Disini tak ada orang yang mempunyai singkatan nama demikian," katanya dengan pasti. "Bolehkah kami menemui pak Wester?" tanya Joe. "Tentu saja." Nyonya itu mempersilakan mereka masuk. Kedua pemuda itu lalu datang kepada pak Wester di kamar kerjanya. Pak Wester sedang meletakkan gagang telepon ketika mereka masuk. Ia terkejut mendengar adanya jalan rahasia di ruang bawah tanah. "Aku tak pernah tahu akan hal itu!" katanya. "Yah, tetapi rumah ini memang dibangun lebih dari seratus tahun yang lalu." Frank mendapat suatu pikiran. "Pak Wester, jika sekertaris anda memang terlibat dalam pencurian, tentunya ada barang-barang lain yang ikut tercuri. Apakah anda merasa ada barang lain yang hilang?" Pak Wester menggeleng. Tetapi ia menyuruh nyonya Summers untuk memeriksanya. Tak lama nyonya itu kembali. Nampaknya bingung. "Saya tak menyadari sebelumnya, tuan," katanya. "Tetapi kendi perak yang besar itu ternyata tak ada di tempatnya. Demikian pula dua buah tempat lilin dari emas." "Seseorang, mungkin Morphy, telah merampok anda tanpa anda ketahui," komentar Joe. "Aku heran," kata pak Wester. "Mengapa ia tak mencuri lukisan-lukisan lain yang lebih berharga?" "Mungkin ia berpikir, bahwa itu akan terlalu menyolok," kata Joe memberi alasan. Nyonya Summers mengangguk. "Kendi dan tempat lilin itu tidak dipajangkan," katanya. "Saya saja tak menyadari, tuan, kalau saya tidak memeriksanya!" "Apakah kalian menemukan petunjuk-petunjuk dari pemeriksaan kalian tadi?— tanya pak Wester. "Hanya ini," kata Frank. Ia menunjukkan sebilah pisau lipat. Pengumpul benda seni itu tak mengenalinya. Ia pun tak mengenal singkatan nama I.N. Kakak beradik itu lalu memeriksa dinding di atas perapian, bekas tempat lukisan Bolivar digantungkan. Suatu tempat pada dinding itu menarik perhatian Frank. Ia memeriksanya dengan teliti. "Ini ada sidik jari yang cukup jelas," katanya. "Joe, tolong ambilkan kotak kita di mobil." "Oke," kata Joe sambil berangkat. Ia kembali dengan sebuah kotak kecil, lalu menaburkan semacam serbuk pada tempat yang dicurigai tersebut. Kemudian ia memotretnya dengan sebuah kamera mini, sebelum sidik jari itu diangkatnya dengan sejenis tape yang khusus. Ia kembali ke dekat pak Wester. "Jika anda tak berkeberatan, saya akan mencari sidik jari Morphy di kamarnya. Kita lihat nanti, apakah cocok dengan sidik jari yang tadi." Pak Wester mengijinkan, dan Joe meninggalkan kamar kerja. Frank memandang dengan penuh pikiran ke dinding yang kosong di atas perapian. "Saya heran. Mengapa orang yang mengambil lukisan itu, tidak memakai sarung tangan?" Pak Wester memandang tajam kepadanya. "Seharusnya engkau tahu. Kawat penggantung lukisan itu diikatkan pada sebuah paku. Jadi, pencuri itu harus menggunakan jari-jarinya untuk melepaskannya." Mereka mempercakapkan peristiwa itu sampai Joe kembali. "Saya berhasil mendapatkan sidik jari yang bagus pada pisau cukur yang digunakan oleh Morphy," kata Joe. "Sekarang kami dapat membawanya kepada pak Collig untuk dicocokkan. Pak Wester, kami akan kembali lagi kemari jika memang cocok. Kalau tidak, polisi tentu akan tahu sidik siapa, setelah mencocokkannya dengan berkas-berkas sidik jari di kantor polisi." Pak Wester mengangguk. "Sementara kalian ada di sana, tolong laporkan bahwa rumahku kecurian." "Dengan senang hati, pak. Kami akan melapor untuk anda," kata Frank. Pak Wester memandangi dia. "Jangan lupa untuk mengatakan, bahwa kemungkinan tersangka pertama adalah Frank dan Joe Hardy!" Chapter 3 JERITAN MINTA TOLONG Frank dan Joe memandangi penggemar benda-benda seni itu. Rupanya, ia masih saja percaya bahwa merekalah yang bersalah! "Kami harus menemukan Mark Morphy untuk membersihkan diri kami, pak," kata Frank perlahan-lahan. "Bagaimana roman wajahnya, pak?" Pak Wester mengambil sebuah potret dari laci mejanya, lalu memberikannya kepada Frank. "Inilah dia." "Apakah anda dapat memberitahu lebih lanjut tentang dia?" tanya Frank selanjutnya. "Apakah dia mempunyai keluarga atau teman? Di mana tinggalnya sebelum bekerja pada anda? Siapa yang mengajukan dia kepada anda?" Pak Wester mengangkat bahu. "Ia telah bekerja padanya selama setahun. Aku menerima dia setelah majikannya, seorang kenalanku, meninggal. Aku tak tahu sedikit pun tentang keluarganya. Atau dari mana asalnya. Ia tak pernah menyebutnya, dan aku juga tak pernah menanyakannya." Pak Wester tak dapat memberikan informasi lebih jauh. Karena itu, kakak-adik itu mempercakapkan peristiwa yang aneh itu. "Bagaimana perasaanmu? Dikatakan sebagai seorang penjahat?" tanya Joe menggerutu. "Pak Wester mencurigai kita dengan penuh keyakinan. Mengapa ia harus bertemu dengan kita, sebelum melapor kepada polisi?" Frank mengangguk. "Aku juga tak mempercayai pengurus rumah tangganya itu. Aku yakin, bahwa ia tahu tentang jalan rahasia itu, dan dengan sengaja menutup pintu ruang bawah tanah." Joe mengangkat bahu. "Katanya, ia hendak memanggil pak Wester, tetapi pak Wester sedang menelepon. Kita melihat sendiri, bahwa pak Wester memang sedang menelepon." "Dapat saja ia mendengar telepon berdering, lalu dibuat alasan!" kata Frank dengan tetap pada pendiriannya. Ia memarkir mobilnya di depan kantor Kepala Polisi Collig. Mereka lalu masuk, dan menjumpai teman lama mereka, yang telah banyak membantu mereka dalam memecahkan perkara. Kepala polisi itu jangkung-tegap dengan pipi merah sehat. Ia sedang duduk di meja tulisnya ketika mereka masuk. "Halo, anak-anak! Ada keperluan apa?" ia bertanya dengan ramah. Joe meletakkan kedua sidik jari di atas meja. "Kami ingin melihat, apakah kedua sidik jari ini cocok satu sama lainnya." Kepala Polisi itu mengerling ke arah mereka. "Kalian sedang menangani suatu perkara lagi, bukan? Maukah mengatakannya kepadaku?" Kakak beradik itu menceritakan tentang kunjungan mereka ke rumah Raymond Wester. Mereka juga menyebutkan, bahwa mereka berdua dicurigai terlibat dalam pencurian sebuah lukisan. Pak Collig bersiul. "Ini menempatkan kalian ke dalam kesulitan, ya? Nah, lihat saja, apakah aku dapat membebaskan kalian dari tuduhan itu." Ia mengantarkan mereka ke laboratorium kriminal. Kedua sidik jari itu diletakkan di bawah sebuah mikroskop kembar, lalu disetel, agar kedua tepi sidik itu berdampingan. Ia meneliti sejenak dengan seksama, lalu berkata: "Tidak sama. Coba, lihat sendiri." Frank dan Joe memang telah trampil dalam hal sidik jari. Mereka berganti-ganti melihatnya. "Sidik Morphy hanya melingkar satu kali," kata Joe. "Sidik yang dari dinding melingkar dua." "Ya. Kedua sidik ini berasal dari dua orang yang berbeda," Frank mengiakan. "Aku heran, sidik siapa yang satu ini?" "Mari kita lihat, apakah kami mempunyai arsip dari sidik ini," kata pak Collig. Ia menuju ke sebuah almari, lalu membalik-balik berkas-berkas sidik jari. Beberapa saat kemudian ia menggeleng. "Tak ada di sini. Ia belum dikenal di kalangan kriminal dari daerah ini. Aku akan mengirimkannya ke FBI di Washington. Barangkali mereka dapat menyidiknya bagi kalian." Pak Collig mengatakan, bahwa ia akan melihat sendiri perkara pencurian itu di rumah Wester. Kakak beradik itu lalu pulang. Hati mereka lega atas bantuan pak kepala polisi. Ayah mereka, seorang pensiunan anggota Kepolisian Kota New York, kini telah menjadi detektif swasta. Ia baru saja pulang beberapa menit yang lalu. "Aku tahu Key Blanco," katanya, setelah mendengar cerita anak-anaknya. "Sebuah pusat penyelundupan di Teluk Meksiko dan Laut Karibia. Tentang Frank dan Joe Hardy dikatakan sebagai penjahat, ini hal yang baru di keluarga kita!" Ia tertawa berderai. Bu Hardy mengernyitkan alis tanda khawatir. "Kukira, perkara ini sangat berbahaya," katanya dengan resah. Bibi Gertrude mendengus. "Laura, hal demikian ini selalu saja terjadi," katanya. "Frank dan Joe memang pandai mencari bahaya di mana-mana. Bahkan di rumah seorang pemilik bank yang terhormat!" "Mungkin Wester itu sendiri penjahatnya," kata Joe sambil tersenyum. "Ia mencuri lukisannya sendiri!" Bibi Gertrude menggelengkan kepala sambil memberengut. Kemudian lalu tersenyum. "Sebelum kalian mengambil kesimpulan yang bukan-bukan lagi, aku punya sepotong kue coklat untuk kalian." Biarpun sifatnya keras, ia sebenarnya menyayangi kedua kemenakannya itu. Ia senang memanjakan mereka dengan kepandaiannya memasak. Kemudian telepon berdering. Pak Collig yang menelepon. "Aku telah mendapat laporan dari FBI mengenai sidik jari yang kedua itu," katanya kepada Joe yang menerima telepon. "Ternyata sidik jari seseorang yang bernama Ignas Nitron. Dulu dikenal sebagai pencuri yang suka membongkar rumah. Akhir-akhir ini sering terlihat di Key Blanco." "Key Blanco!" seru Joe. "Ke sana pula pak Wester mengirimkan lukisannya! Terimakasih, pak Collig!" Joe meletakkan gagang telepon, lalu menceritakan perkembangan baru tersebut kepada yang lain-lain. "Aku pernah mendengar nama Nitron," kata pak Hardy. "Ia dicurigai sebagai pimpinan komplotan penyelundup. Tetapi belum pernah tertangkap basah dengan barang selundupannya. Mencuri lukisan seperti yang dilakukan di rumah Wester, memang termasuk kebiasaannya. Karena berupa potret Simon Bolivar, ia dengan mudah akan menemukan pembeli yang kaya di Amerika Latin." "Inisial, atau singkatan nama di gagang pisau itu tentu miliknya!" kata Frank bersemangat. "Mungkin pisau itu terjatuh, ketika ia membantu membawa lukisan itu melalui jalan rahasia!" Joe tertegun. "Tetapi mengapa penjahat dari Key Blanco beroperasi di Bayport?" "Mungkin Harrison Wester pernah membicarakan lukisan itu, dan Nitron mendengarnya," Frank berteori. "Maka ia datang ke Key Bayport, lalu mencurinya. "Mungkin dengan bantuan Morphy," Joe menyambung. "Mungkin pula ada orang ketiga. Sebab Morphy disuruh mencari dua orang sewaan!" "Nanti dulu!" ayahnya memperingatkan. "Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Nitron, mungkin dengan bantuan anteknya, dapat pula menyingkirkan Morphy. Lalu meletakkan potretmu di laci Wester." "Aku menyangsikan hal itu," kata Joe. "Mengapa Morphy memberi cuti sehari kepada para pembantu, jika memang tak mau menyembunyikan sesuatu?" Pak Hardy mengangguk perlahan-lahan. "Ya. Engkau mempunyai titik kuat di sini. Tetapi bagaimana pun, ini merupakan teka-teki yang rumit. Yang paling baik bagi kalian ialah, pergi ke Key Blanco dan memulai penyelidikan di sana." "Kita akan bekerja di bawah tanah. Menyamar sebagai penyelundup," Frank mengusulkan. "Aku berharap pula, dapat bertemu dengan Nitron." "Sambil memasang perangkap untuk Morphy juga!" sambung Joe. Pak Fenton setuju akan rencana itu. Tetapi ia memperingatkan anak-anaknya, agar selalu berhati-hati. Telepon berdering lagi. Frank menyambutnya. Ternyata Raymond Wester. Frank menggapai adiknya, untuk mengambil telepon sambungan. "Aku ada di Hotel Bayport!" kata pak Wester dengan jengkel. "Mengapa kalian belum kemari juga?" "Untuk apa, pak Wester?" "Lho, engkau yang minta kepadaku untuk bertemu di sini!" tukas penggemar barang antik itu. "Tetapi kami tak menelepon anda! Sejak meninggalkan rumah anda!" Frank mengelak. "Kami tak pernah menyebut nama Hotel Bayport!" "Frank Hardy! Engkau menelepon sejamyang lalu!" kata pak Wester menyalahkan. "Aku mengharap kedatanganmu bersama Joe di sini. Kukira, kalian telah menemukan lukisanku! Nah, aku ada di kamar 707!" Frank tertegun. Dari pada berdebat di telepon, ia malah berkata: "Oke! Kami segera datang." "Dari mana ia mendapat pikiran, bahwa engkau meminta dia untuk pergi ke hotel?" tanya Joe heran. "Ada orang yang menelepon dia, menirukan suaraku," kata Frank dengan geram. "Ayo! Kita harus menyelidikinya!" Kakak beradik itu lari keluar dari pintu. Tetapi ayahnya menghentikannya. "Kalian harus menyelidiki hal ini. Itu aku setuju," katanya. "Tetapi waspadalah. Kalian mungkin diumpan agar masuk perangkap!" Chapter 4 UMPAN BUAYA Frank mengangguk sambil berpikir. "Benar, ayah," katanya. "Kalau kami tak kembali dalam setengah jam, susullah kami. Maukah ayah?" "Tentu," ayahnya berjanji. Kedua pemuda itu berangkat. Ketika mereka tiba di hotel, penerima tamu mengatakan, bahwa mereka diminta untuk menelepon pak Wester dulu, jangan langsung ke kamarnya. Frank segera menyadari, bahwa siapa pun orangnya, hendak berjaga-jaga lebih dulu kalau mereka berdua datang. "Tak perlu," katanya sembarangan. "Kami telah berbicara dengan dia beberapa menit yang lalu! Dengan segera ia dan Joe pergi ke elevator. Tetapi begitu pintu elevator menutup, mereka sempat melihat penerima tamu itu memutar nomor telepon! "Ia menelepon juga ke kamar!" kata Frank singkat. Mereka naik ke tingkat tujuh, dan mengetuk pintu kamar 707. Jawabannya berupa suara mengerang yang menakutkan. Joe mendobrak pintu, dan mata mereka segera membelalak. Raymond Wester menggeletak di lantai, kedua tangannya terikat di belakang. Dua orang sedang melarikan diri melalui jendela! Mereka berkedok dengan kaus kaki. Frank dan Joe sempat melihat, salah seorang bertubuh gemuk bercelana kotak-kotak. Yang seorang lagi jangkung tetapi berotot. Orang yang kedua ini sedang naik ke jendela, ketika ia melihat kedatangan kedua pemuda itu. Ia meraih sebuah lampu dari meja di dekat tempat tidur, lalu melemparkannya kepada mereka. Kemudian ia menyusul temannya, merosot turun dari tangga kebakaran. Lampu itu menimpa Joe, hingga ia hilang keseimbangannya, jatuh ke lantai di samping pak Wester. "Frank, kejar dia!" ia masih sempat berseru. Frank memutar, menghindari tubuh pak Wester dan adiknya, berlari ke jendela. Ia membungkuk melihat ke bawah. Dilihatnya, buronan itu merosot turun di tangga kebakaran, lalu lari ke tempat parkir di sebelah gedung. Beberapa detik kemudian, Frank juga telah mencapai tanah, lalu berlari mengejar. la mendengar deru mesin, dan sebuah sedan melesat dari tempat parkir, menuju tepat ke arah dia! Frank yang memang seorang olahragawan, melompat ke pagar kawat. Kakinya segera mendapat pijakan, sementara jari-jarinya berkait erat-erat pada jaringan kawat. Mobil menghambur lewat, hanya beberapa senti dari tubuhnya! Ia melihat kedua wajah yang tertutup kaus kaki. Mata yang buas memandangi dia, sementara mobil itu menggelinding ke jalan. Beberapa detik kemudian telah menghilang. Frank melompat turun. "Wow!" pikirnya. "Sedikit lagi, aku sudah duduk bersama mereka di mobil!" Dengan gemetar ia kembali masuk ke hotel. Penerima tamu melihatnya dengan heran. "Darimana anda datang? Saya kira…." Frank tak menjawab. Ia langsung menuju ke elevator dan naik ke tingkat tujuh. Di kamar pak Wester, ia melihat adiknya bersama pak Wester duduk-duduk di tempat tidur, menunggu dia. "Bangsat-bangsat itu lari dengan mobil," katanya. "Hampir saja mereka menabrak aku. Apa yang terjadi dengan anda, pak?" Pensiunan pemilik bank itu nampak murung dan bingung. "Aku datang ke hotel ini, setelah menerima teleponmu," ia mulai bercerita. "Karena kalian tak ada, aku menelepon untuk mencari keterangan dimana kalian berada. Baru saja aku meletakkan gagang telepon, kedua orang itu melompat masuk dari jendela." "Apakah anda mengenali mereka?" tanya Joe. Pak Wester menggeleng. "Tidak. Karena memakai kedok. Mereka memerintahkan aku, menyuruh kalian pergi kalau kalian menelepon dari lobby. Mereka menakut-nakuti, bahwa nyawaku tak berharga sesen pun kalau aku tak menghentikan kalian dalam perkara ini." Dengan gugup ia mengambil saputangan dan menyeka dahinya. "Kemudian penerima tamu itu menelepon, bahwa kalian datang dan langsung ke atas. Mereka tak menyangka hal ini terjadi, lalu menjadi panik. Mereka mengikat tanganku lalu lari melalui jendela." "Nah, pak. Apakah anda masih mencurigai kami?" tanya Joe ingin tahu. "Mengapa tidak?" tukas pak Wester. "Kalian ingin melepaskan diri dari perkara ini. Lalu menggunakan siasat ini biar nampak bersih! Memancing aku kemari, lalu menyuruh kedua badut itu untuk menganiaya aku!" "Lalu, untuk apa kami datang kemari?" Joe membantah. "Kalau memang seperti yang anda katakan, kami enak-enak saja tinggal di rumah dan minta maaf! Daripada berlari-lari ke hotel, dan mendapat hadiah sebuah lampu di kepala!" "Atau hampir ditabrak mobil!" Frank menyambung geram. Pak Wester hanya mengangkat bahu. "Pokoknya, hanya ada satu jalan untuk menghentikan kecurigaanku." "Apa Pak? "Tetap menangani perkara ini, dan memecahkannya!" kata pensiunan pemilik bank itu dengan tegas. "Oke!" Frank berjanji. "Kami memang akan segera berangkat ke Key Blanco untuk memulai penyelidikan." "Nah! Itu bagus! Harrison mempunyai rumah di sana. Di atas sebuah batu karang, di sebelah timur sebuah pulau yang mengawasi Teluk Penyelundup. Aku akan menelepon dia, bahwa kalian akan datang." "Terimakasih," kata Frank. "Kami akan memberitahu anda begitu kami tiba." Raymond Wester mengangguk, lalu meninggalkan hotel. Joe bersama kakaknya pulang ke rumah. Di jalan, mereka memperbincangkan peristiwa tadi. "Aku tak mengerti," kata Joe, "Mengapa para penjahat itu tidak ke rumah pak Wester saja, dan memaksa agar kita melepaskan tugas kita? Mengapa harus mengatur jebakan di hotel segala?" "Agar pak Wester tetap mencurigai kita," Frank menjelaskan. "Ingat, ia masih saja ngotot, bahwa akulah yang menelepon dia agar datang ke hotel. Bangsat-bangsat itu mengharap, bahwa ia tetap percaya bahwa kitalah yang mengatur jebakan!" "Kukira engkau benar." Tiba di rumah, mereka mengambil beberapa buku dari perpustakaan ayah mereka, dibawanya ke kamar duduk, dan mereka mulai membaca tentang daerah Florida selatan. Mereka menemukan, bahwa Key Blanco terletak di dekat Key West di Teluk Meksiko. "Pada zaman dahulu tempat itu merupakan sarang penyamun," Joe membaca dari ensiklopedi. "Sekarang menjadi pusat penyelundupan, meskipun Pengawal Pantai telah berusaha keras untuk menghentikan lalu lintas ilegal ini." Frank mempelajari buku lain. "Menyebutkan, bahwa Key Blanco mempunyai sejumlah teluk kecil-kecil, yang digunakan oleh para penyelundup untuk memasukkan barang-barang terlarang. Karena itu Pengawal Pantai sangat repot untuk menanggulanginya." Tiba-tiba diluar terdengar suara berdentum keras. Mereka terkejut, mengira suara tembakan. Mereka menjadi lega, ketika suara itu disusul oleh suara letusan-letusan yang lain, karena hanya suara knalpot. Frank tersenyum. "Itu tentu Chet dengan mobil tuanya!" Chet Morton adalah teman akrab mereka, seorang pemuda yang gemuk bulat, tinggal pada suatu pertanian di luar kota Bayport. Ia juga sering mengikuti kakak beradik itu dalam penyelidikan-penyelidikan mereka. Meskipun ia menilai makanan di atas segala-galanya, namun kedua temannya tahu, bahwa ia tak pernah meninggalkan mereka bila menghadapi bahaya. Joe menuju ke jendela dan melihat keluar. Sebuah mobil tua memasuki jalan masuk ke halaman. Setiap putaran rodanya disertai ledakan dari knalpot. Chet mengendarainya seperti seorang koboi sedang menunggang kuda binal. Wajahnya yang berjerawat menunjukkan ketegangan ketika ia menghentikan kendaraannya di depan rumah. Melihat ada teman yang duduk di samping Chet, Joe berkata pada kakaknya: "Biff bersama dengan dia!" Biff Hooper merupakan bintang lapangan di SMA Bayport. Ia juga biasa menggunakan tinjunya jika Frank dan Joe membutuhkan bantuan bila menghadapi keadaan yang panas. Ia pun sering pula menyertai mereka dalam beberapa penyelidikan. Biff melompat turun, dan berjalan dengan kedua tangannya memegangi pinggangnya, serta berpura-pura pincang. Melihat Joe keluar dari pintu, ia mengeluh: "Bawalah aku ke dokter! Tempurung lututku lepas, naik tumpukan besi tua ini!" "Naik saja lagi!" Joe membanyol. "Nanti Tempurung lututmu akan melompat sendiri kembali ke asalnya!" Chet kesulitan untuk melepaskan tubuhnya dari bawah batang kemudi. "Teruskan mengigau!" katanya kepada kedua temannya. "Ini mobil yang tercepat di Bayport. Aku dapat menembus dinding suara dengan mobil ini!" "Engkau akan mengalami patah as sebelum mencapai separo jalan!" kata Biff. Joe dan kedua temannya lalu masuk ke tempat Frank. Melihat buku-buku tentang Florida Keys yang ada di meja, Chet melirik kepada kedua temannya. "Apa ini? Hendak berlibur?" "Berani bertaruh! Kalian tentu sedang menghadapi perkara lagi!" kata Biff. "Engkau benar!" kata Frank: "Bahkan dimulainya dari Bayport sini." Dengan singkat ia menceritakan tentang pencurian di rumah pak Wester. "Ha? Bolehkah aku ikut?" tanya Chet bergairah. "Daftar pula namaku!" sambung Biff. Ia mengacung-acungkan tinjunya di udara. "Aku ingin beberapa ronde dengan para penjahat itu!" "Kita mungkin akan menghadapi komplotan penyelundup," Joe memperingatkan. "Penyelundup atau tukang sulap, sama saja!" kata Chet. "Jika menghadapi komplotan, kalian membutuhkan tenaga bantuan." Frank dan Joe membenarkan. Empat orang tentu akan lebih baik dari pada dua orang di Key Blanco nanti. Chet dan Biff akan mereka terima dengan senang hati, bila orang tua mereka mengijinkan. "Kami tanyakan dulu. Kami akan kembali dengan segera!" Chet berjanji. Ia dan Biff segera berlari-lari keluar. Frank dan Joe masuk ke dalam kamar kerja ayah mereka untuk berunding. "Kuharap saja Chet dan Biff dapat ikut," kata pak Hardy. "Dari apa yang kudengar, Key Blanco adalah tempat yang keras. Kalian akan membutuhkan tenaga bantuan. Di samping itu, aku akan memberitahu polisi Key. Blanco, bahwa kalian akan menyamar sebagai penyelundup." Chet dan Biff menelepon, bahwa mereka boleh ikut. Keempat pemuda itu bersepakat, akan bertemu di lapangan terbang esok pagi. **** Penerbangan ke Miami berangkat tepat pada waktunya. Mereka mendapat tempat duduk di bagian belakang, dan mereka duduk dengan santai. Negara-negara bagian di Pantai Timur mereka lalui, dan pesawat terus menderu menuju ke Florida. Setengah jam setelah keberangkatan, Frank berdiri untuk mengambil minuman. Ketika kembali, ia meletakkan minumannya dengan tegang. "He! Lihat itu dua orang yang duduk di depan! Yang satu jangkung berotot, yang lain gemuk. Ia pun mengenakan celana kotak-kotak, persis seperti yang dipakai orang yang kita jumpai di Hotel Bayport!" Joe bersiul. "Celana demikian nampak mengerikan pada tubuh seperti dia! Aku sangsi, apakah selera orang itu sedemikian jeleknya!" "Apa yang kalian katakan itu?" tanya Chet. "Apakah kedua orang itu sama dengan orang-orang yang mengikat Raymond Wester?" "Mungkin juga!" "Aku jadi ingin mendengar apa yang mereka percakapkan," kata Joe. "Tetapi kalau kami yang mendekati, mereka tentu mengenali kami." "Mereka tak akan mengenali Biff dan Chet," kata Frank. "Bagaimana, teman-teman? Mau melakukan tugas detektif sedikit?" Biff bangkit dengan tersenyum. "Kebetulan tak ada orang yang duduk di belakangnya," katanya. "Aku akan mencoba." "Terimakasih teman!" Telunjuk dan ibu jari Biff membentuk tanda O, menandakan semuanya akan beres. Dengan berlagak acuh tak acuh ia ngeloyor di gang, lalu duduk di kursi yang kosong. Kedua orang di depannya sedang saling mendekatkan kepala, bercakap-cakap perlahan-lahan. "Melibatkan kedua anak Hardy itu adalah tolol," kata si gemuk menggerutu. "Morphy salah besar meninggalkan potret mereka di laci, dan mengatakan bahwa mereka itu orang sewaannya." "Ia mengira, akan dapat memperdayakan orang," kata si jangkung. "Morphy mengira, bahwa Wester akan melapor kepada polisi agar kedua anak itu ditangkap. Celakanya, ia justru minta bantuan dari kedua anak tersebut!" Si gemuk menggertakkan gigi. "Engkau kan tahu juga, Tom, bahwa akal kita untuk menakut-nakuti mereka, supaya melepaskan perkara itu pun telah gagal pula." "Betul. Daripada menyerah, mereka justru semakin gigih melakukan tugas. Seperti anjing buldog saja! Mereka memang sudah terkenal, tak lekas menyerah begitu saja. Bagaimana kalau mereka mengetahui, bahwa aku dan Nitron yang mencuri lukisan itu?" "Mereka akan mengetahui lebih banyak lagi dari pada itu! Misalnya saja, mereka juga mengetahui segala operasi penyelundupan kita? Aku tetap berpendapat, sebaiknya mereka kita habisi saja, sewaktu di Bayport itu! Siasat menakut-nakuti, seperti yang diperintahkan oleh boss itu, hanya berlaku untuk burung!" Tom menghela napas. "Yah. Tetapi kita harus patuh pada perintah. Kalau anak-anak Hardy itu merintangi kita lagi, kita lemparkan saja mereka itu sebagai umpan buaya!" Chapter 5 PENGHADANGAN Biff mengepalkan tinjunya mendengar kata-kata busuk itu. "Itu pikiranmu!" ia berpikir. Ia meneruskan mendengarkan dengan seksama apa yang mereka percakapkan selanjutnya. "Lebih cepat kita menghantam kedua anak Hardy itu, aku lebih senang!" kata si gemuk. "Begini saja, Fatso. Kalau kedua Hardy itu menyulitkan kita," kata Tom, "kita culik saja mereka, lalu kita bawa ...." Biff semakin membungkuk ke depan untuk menangkap kata-kata mereka lebih jelas. Tom melihat suatu gerakan dari sudut matanya. Dengan mendadak ia berpaling ke belakang, menatap wajah Biff! Tepat pada waktu itu pesawat bergetar, meluncur ke bawah dengan hidungnya tertuju ke atas. Biff terlempar dari kursinya, sementara pesawat menjadi miring ke satu sisi. Sedetik kemudian Biff jatuh di tengah gang. Tom dan Fatso membentur dinding pemisah, sementara terdengar teriakan-teriakan yang campur baur dari para penumpang. Pesawat terus meluncur menurun. "Kita akan jatuh berantakan!" teriak Fatso ketakutan. Untunglah pilot segera dapat menguasai pesawat. Pesawat mulai mendatar, dan sedetik kemudian mulai melesat ke atas untuk mencapai ketinggian yang aman. Para penumpang menjadi tenang kembali, dan kedua orang itu bersandar kembali sambil menghela napas lega. Biff bangkit dengan goyah untuk berdiri, dilihati oleh Tom dengan penuh kecurigaan. "He! Engkau nguping pembicaraan kami, ya!" si jangkung mendelik dengan geram. "Saya kehilangan keseimbangan, ketika pesawat itu meluncur ke bawah," jawab Biff minta maaf. "Saya terbentur pada kursi di belakang anda, lalu jatuh terguling di gang pemisah. Saya tak mendengar apa-apa yang anda percakapkan." "Nah, sekarang cepat duduk di tempatmu sana!" Tom memperingatkan. "Pakailah sabuk pengamanmu!" sambung Fatso. "Dengan demikian engkau tetap di tempatmu. Dari pada gentayangan sampai kemari!" Biff menyeringai, seolah-olah bingung. Ia kembali ke belakang. Dengan singkat ia lalu menceritakan apa yang didengarnya. "Jadi, mereka itu betul orang-orang yang di hotel itu," kata Frank. "Mereka juga penyelundup! Bagaimana pendapat kalian?" "Si jangkung itu, si Tom, ikut dalam pencurian lukisan," kata Chet. "Jadi, ia dan Nitronlah orang sewaan Morphy itu." "Morphy juga sudah jelas ikut dalam komplotan mereka," sambung Joe. "Aku ingin tahu, siapa boss-nya itu," kata Chet. "Tentunya pimpinan tertinggi di kalangan kaum penyelundup." Frank bingung. "Tetapi, mengapa mereka berbicara tentang buaya? Di Key Blanco tidak ada buaya! Yang ada hanya di Everglades." "Kita bayangi saja mereka, nanti di Miami,"usul Joe. "Barangkali mereka dapat menuntun kita, untuk mengetahui teman-teman penyelundupnya!" Tiba-tiba Chet menengadah, dan melihat kedua orang itu berjalan di gang pemisah. "Frank, Joe, awas!" ia mendesis. Kakak beradik itu segera menangkap isyarat itu. Joe buru-buru mengambil sehelai surat kabar, dan sehelai lagi untuk kakaknya. Mereka meletakkan koran itu menutupi wajahnya, lalu berpura-pura tidur. Kedua orang itu makin dekat, lalu berhenti sejajar dengan mereka. Biff telah bersiap-siap mengepalkan tinjunya. Ia akan memberitahu teman-temannya, untuk memulai perkelahian, tetapi pada saat itu juga Tom memanggil pramugari. "Mana itu bantal-bantal untuk tempat duduk di depan?" "Ya! Bagaimana anda mengharapkan kami dapat tidur?" Fatso ikut membentak. Nona yang cantik itu tersenyum menyabarkan. "Saya akan membawakan bantal-bantal itu sekarang juga!" Kedua orang itu kembali ke tempat mereka, diperhatikan oleh pemuda-pemuda kita dengan perasaan lega. "Sudah aman," kata Biff. Frank dan Joe menyingkirkan koran mereka. "Mereka tak melihat kalian," kata Chet. "Untung kalian tepat pada waktunya menutup wajah kalian!" Joe melihat ke surat kabar yang dipeganginya, lalu tertawa perlahan. "Bayangkan! Ini halaman olahraga. Aku, Joe Hardy, diselamatkan oleh angka-angka hasil pertandingan baseball!" Tiba-tiba mata Chet berbinar. "Kulihat hidangan segera diedarkan. Harap siap teman-teman!" Pramugari mendorong gerobak dari belakang. Ia membagikan nampan berisi sari buah, ayam goreng, sayuran dan sepotong kue tar apel. Tiga pemuda makan dengan santai, hanya Chet melahap dengan penuh semangat. Dalam sekejap isi nampan telah lenyap. Setelah menelan potongan kue yang terakhir, ia lalu bersandar ke kursinya, menepuk-nepuk perutnya, menutup mata dan tidur! Frank tertawa. "Chet dan makanan memang tak terpisahkan!" "Persis seperti roti dan mentega," Biff menyambung. Pesawat melintasi perbatasan Florida. Tak lama kemudian, tampak Miami Trail nampak meliuk-liuk di bawah. Ketika pesawat mendarat di Miami, Frank dan Joe sekali lagi menutup wajahnya dengan koran. Kedua penyelundup itu keluar melalui pintu belakang. Keempat pemuda itu menunggu, hingga Tom dan Fatso telah lewat, lalu berdiri di antrian paling belakang. Dengan demikian, mereka dapat tetap mengawasi kedua orang itu tanpa mereka ketahui. Dua orang itu berjalan melalui lobby, menuju ke tempat penyewaan mobil. Sementara mereka memenuhi administrasi sewa mobil, Frank melakukan hal yang sama pada tempat penyewaan mobil lain. Kemudian keempat pemuda itu mengendarai mobil mereka pada jarak yang aman di belakang mobil orang-orang itu. Para penyelundup itu mengendarai sebuah mobil kecil berwarna biru, dan mulai keluar dari terminal. Di mobil yang lain, Biff yang memegang kemudi. Chet duduk di sampingnya. Frank dan Joe duduk di belakang, agar tak mudah dilihat orang dari luar. "Aku punya firasat, bahwa mereka itu menuju ke Key Blanco pula," kata Frank, ketika mobil biru itu menuju ke arah selatan, melintasi Miami Springs dan Coral Gables. "Itu bagus!" kata Joe. "Jadi kita tak perlu membuang waktu. Apa yang kita lakukan, hanyalah mengikuti mereka!" "Itu lebih mudah dikatakan dari pada dikerjakan," Biff menggerutu. "Lalu lintas begini padat!" Ia mengemudikan mobilnya melalui Coral Gables, membayangi mobil biru. Ia tetap mempertahankan jarak, agar jangan menimbulkan kecurigaan. Pada suatu kesempatan, lampu lalu lintas menyala kuning, dan mobil biru melaju lewat. Biff berusaha mengikutinya, tetapi lampu lalu lintas berubah merah. Ia menginjak rem dengan mendadak, dan mobil para penyelundup menghilang di depan mereka! "Tikus busuk! Kita kehilangan jejak mereka!" seru Biff kecewa. "Apa yang kita lakukan sekarang?" "Lupakan saja mereka itu," usul Chet. "Siapa sih yang membutuhkan mereka? Aku akan memecahkan perkara ini, begitu sampai di Key Blanco!" Teman-temannya, yang sudah terbiasa mendengar Chet membual, hanya tertawa. Tetapi mereka menyambut baik usul itu, karena memang tak ada pilihan lain! Mereka meninggalkan Miami Selatan, Kendall dan Perrine, lalu berhenti untuk makan pada sebuah warung di Cutler Ridge. Setelah itu mereka menuju ke selatan lagi melalui jalan raya. Dengan cepat mereka telah hampir sampai di dekat kota Homestead. Tiba-tiba mobil biru nampak lagi di depan mereka. "Itu dia mereka!" seru Biff. "Kita telah dapat mengejarnya." "Jangan kehilangan jejak mereka lagi," Joe memperingatkan. Biff menginjak gas, hingga kini mereka lebih dekat jaraknya dari semula. "Aku harus mengikuti mereka dengan ketat," katanya. "Untung sebentar lagi akan mulai gelap. Jadi mereka tak akan mudah mengetahui kita." Sementara kedua mobil berpacu, Frank berkata: "Aku heran, mengapa mereka nampaknya tergesa-gesa!" "Aku merasa, bahwa kita segera mengetahui alasannya," kata Chet seperti meramal. Kini tak ada lagi sebuah mobil pun di antara mereka, dan kedua mobil segera memasuki kota Homestead. Mobil biru langsung menuju ke pusat kota, dan Biff tetap lengket mengikuti. Tiba-tiba mobil kecil itu membelok ke kanan, memutar di sebuah tikungan, lalu hilang dari pandangan. Hal itu terjadi begitu mendadak, hingga Biff hampir saja melewati tikungan tersebut. Ia membanting kemudi ke kanan sambil menginjak rem, hingga keempat roda bersuit-suit di aspal. Mereka berada di dalam sebuah gang yang gelap. Di kiri kanan terdapat tembok yang tinggi. Sebuah lampu senter menyala di tengah jalan, hingga Biff terpaksa menghentikan mobilnya. Sebuah mobil lain diparkir kira-kira duapuluh meter di depan mereka. Lampu senter itu bergerak-gerak, dan cahayanya menerangi wajah Biff, kemudian wajah Chet. Dari kegelapan terdengar suara Tom mendamprat: "Hei, engkau telah cukup jauh membuntuti kami! Sekarang berakhirlah perjalananmu, bersama temanmu si gemuk itu!" Chapter 6 PETUNJUK MENGEJUTKAN "Penghadangan!" Joe berbisik kepada kakaknya. "Tetapi mereka belum melihat kita. Menunduk!" Mereka turun, meringkuk di lantai mobil. Segera pula cahaya senter menyapu tempat duduk belakang. Melihat tempat yang kosong, Tom kembali berpaling kepada Biff dan Chet. "Kami lihat kalian selalu mengikuti kami di jalan besar," tukasnya. "Sekarang kalian terjebak. Nah, kini apa yang hendak kalian lakukan?" Sadar, bahwa mereka menghadapi orang-orang yang berbahaya, Biff berusaha membantah dan mengelak dari jebakan. "Kami tak mengikuti kalian," jawabnya seperti tak bersalah. "Sesungguhnya kami sedang menuju ke Florida Keys untuk berlibur. Bibi saya tinggal di sana, minta agar kami menginap di sana untuk beberapa minggu." Chet segera menangkap maksud temannya. "Kami asyik berbicara tentang Everglades. Jadi saya kira, teman saya ini tak sadar masuk ke dalam gang. Saya dengar Everglades sungguh indah. Banyak buaya di sana!" Tom mendehem kebingungan. "Hmm. Apa yang kau ketahui tentang buaya?" "O, banyak orang yang senang bertarung melawan buaya!" jawab Chet dengan tersenyum tolol. "Itulah yang ingin saya lakukan. Ingin membentuk regu gulat melawan buaya." "Tidak lucu!" Tom membentak. Biff terus berceloteh. "Eh! Engkau dapat ditangkap para pemburu gelap," katanya kepada Chet. "Di sana banyak pemburu gelap, di Everglades!" "Pemburu gelap?" tanya Tom dengan tajam. "Betul! Mereka menembaki buaya, lalu menjual kulitnya! Saya pernah membacanya di dalam majalah Mere….." "Cukup!" Tom meledak. "Ayo, keluar dari mobil!" Biff ragu-ragu, tetapi Chet menyikut pinggangnya. "Jangan mengambil risiko!" ia berbisik mendesak. "Orang itu mungkin membawa pestol. " Ia keluar dari mobil, memutar ke samping Biff. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara itu, Frank dan Joe menunggu di bagian belakang dengan napas tertahan. "Kami akan membawa kalian ke pantai untuk mandi!" kata Tom kepada Biff dan Chet. "Untuk selamanya, di dasar laut!" "Tetapi, kami tak berbuat apa-apa!" kata Chet gemetar. "Tutup mulut! Masuk ke mobil yang itu, lekas!" Malam sudah sedemikian gelap untuk dapat melihat. Tetapi suara berkotreknya logam menunjukkan, bahwa orang itu benar-benar bersenjata. Kunci pengaman pada pestol telah dibuka. Kedua pemuda itu tak punya pilihan lain kecuali menurut. Dengan gugup dan takut mereka menuju ke sedan biru, digiring oleh penangkapnya. "Kita tak dapat membiarkan Chet dan Biff diculik ," bisik Joe kepada kakaknya. "Tentu saja tidak," bisik Frank kembali. "Mari!" Dengan diam-diam ia keluar dari mobil, diikuti oleh Joe. Untung, Biff membiarkan pintu mobil setengah terbuka. Dengan mengendap-endap kakak beradik itu mengejar Tom dari belakang. Dan mendadak mereka menjegal dan menangkap Tom. Mendengar suara gaduh, Chet dan Biff berbalik, lalu menceburkan diri dalam pergumulan. Frank menangkap pergelangan tangan lawannya. Dengan suara bergelatakan pestol Tom jatuh menimpa batu. Keempat pemuda itu baru saja mulai ada di atas angin, ketika Fatso sadar, bahwa temannya mendapat kesulitan. Dengan cepat ia memasukkan persneling mundur, lalu melaju dengan mesin menggerung-gerung. "Awas!" seru Frank. "Ia hendak melindas kita!" Keempat pemuda itu melompat ke tepi, merapatkan diri pada dinding. Tom melompat ke arah yang berlawanan, tangannya menggapai-gapai agar Fatso menolongnya. Mobil kecil itu berhenti mendadak, hanya beberapa meter dari para pemuda. Tom membuka pintu. Dalam cahaya lampu dalam yang menyala sekejap, para pemuda itu melihat Fatso memandangi mereka dengan mata menyala-nyala. "Lekas jalan!" kata Tom sambil menggertakkan gigi. "Mereka berempat, tidak hanya berdua!" Pintu dibanting menutup, dan Fatso menginjak gas. Sambil menghamburkan debu, mobil biru melesat maju di gang. Dengan terbatuk-batuk keempat pemuda itu menuju ke mobil mereka, sambil memandangi lampu belakang mobil lawannya menghilang di tikungan. "Mereka telah menikung," Biff menggerutu. "Tak ada jalan lain untuk mengejar mereka." Frank mengangguk, "Sayang sekali…" Ia terhenti sejenak. Kakinya tersandung sesuatu yang berbunyi seperti logam beradu dengan batu. Ia membungkuk dan meraba-raba di kegelapan. Akhirnya jari-jarinya menemukan pestol Tom yang terjatuh. Ia mengambilnya, dan membawanya masuk ke dalam mobil. Dengan lampu dalam ia memeriksanya, dilihati oleh teman-temannya. Joe mengambil alat-alat untuk memeriksa sidik jari dari kotaknya, lalu menaburkan semacam serbuk pada gagang pestol. Tetapi harapan untuk menemukan sidik jari tak berhasil. "Tom memakai sarung tangan!" katanya. Biff menggigil. "Penjahat profesional! Untung kita tak berbuat yang bukan-bukan ketika ditodong!" "Nah, ini merupakan barang bukti," kata Joe. "Kita harus memeriksanya di kantor polisi," kata Frank. "Barangkali mereka dapat mengenali pemiliknya." "Aku usul," kata Chet. "Itu kita lakukan besok pagi saja. Kita harus beristirahat dulu. Aku sudah loyo!" "Aku heran, mengapa orang itu marah dan gelisah ketika Biff menyebut-nyebut pemburu gelap!" kata Chet. "Padahal itu kan hanya omong kosong." Frank mengangkat bahu. "Siapa tahu? Tetapi bagaimana pun kini mereka tahu, bahwa kita mengejar-ngejar mereka. Jadi penyamaran kita telah terbuka." "Apa tindakan kita selanjutnya?" tanya Chet. "Kita pikirkan nanti," jawab Frank, "Sekarang lebih baik kita tidur." Malam itu, Chet bermimpi dikejar buaya. Ia sedang berada dirawa-rawa Everglades, berlari sekencang-kencangnya dikejar beberapa ekor buaya. Rahang yang panjang itu terbuka menakutkan. Ia tersandung dan jatuh, dan dalam sekejap buaya-buaya itu menerkam dia. Sambil berteriak tertahan Chet terbangun. Ternyata hari sudah terang. Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan gemetar. Matanya berkedip-kedip sebentar, lalu turun dari tempat tidur. Teman-temannya ternyata sedang berpakaian. Setelah sarapan, mereka bermobil menuju ke kantor polisi. Frank dan Joe yang masuk, sementara Biff dan Chet menunggu di mobil. Seorang letnan polisi menerima mereka di meja kerjanya. "Aku telah mendengar tentang ayah kalian. Juga perkara-perkara yang pernah kalian pecahkan," kata pak letnan dengan tersenyum. "Apa yang sekarang kalian tangani?" Frank mengeluarkan pestol dari sakunya, lalu diberikan kepada pak letnan. Letnan itu memeriksanya dengan teliti. Setelah mendengar bagaimana Frank mendapatkan senjata tersebut, ia pergi ke almari berkas-berkas ijin senjata. Dengan teliti ia membuka-buka halaman setiap berkas. "Kalian beruntung," katanya kemudian. Ia mengeluarkan sehelai kartu, dan mengacungkannya kepada Frank dan Joe. "Lho! Ini tercatat atas nama Harrison Wester dari Key Blanco!" seru Frank. "Ia adalah adik dari orang yang menyuruh kami untuk menemukan lukisannya yang hilang," Joe menjelaskan. Ia lalu menceritakan perkara itu kepada pak letnan. "Kami akan membawa pestol ini kepada pak Wester," katanya kemudian. "Tentunya telah dicuri orang." Letnan itu mengangguk. "Tuan Harrison Wester terkenal baik namanya. Tetapi aku tak dapat mengembalikan pestol ini, kalau ia tidak melaporkan kehilangan. Tolong katakan kepadanya, agar ia menelepon kemari kalau kalian sampai di sana." "Baik, pak," kata Frank berjanji. Kemudian mereka berpamitan dan menuju ke mobil. Segera pula mereka melaju lagi di Route I. Joe yang memegang kemudi, sedangkan Frank yang mencari jalan dari peta. "Aku ingin tahu, apakah pak Wester memang kehilangan pestol itu," kata Chet. "Jangan-jangan ia mengenal orang-orang yang terlibat dalam perkara kita ini." "Mereka mungkin membelinya dari pasar gelap," kata Frank. "Maksudmu, ada orang yang mencurinya dari pak Wester, lalu menjualnya?" Frank mengangguk. "Banyak penjahat yang berbuat demikian." Joe menginjak gas lebih dalam, dan mobil semakin cepat ketika mendekati ujung selatan daerah Florida. "Yang jelas, pestol itu memberikan petunjuk ke arah Key Blanco. Sulitnya, kita tak tahu ke mana tujuan kita dari sana nanti! Perkara ini benar-benar penuh rahasia!" "Berbahaya pula, dilihat dari sudut pertemuan dengan Tom dan Fatso yang terakhir ini," sambung Biff. "Kalau masih ada bahaya lagi, aku jangan diikutkan ah!" kata Chet buru-buru. Joe tertawa. "Jangan begitu! Kami membutuhkan engkau. Kami tahu, engkaulah yang paling pemberani di Bayport!" Chet tertawa kecil. "Oke! Aku yang akan menggasak penjahat-penjahat itu," ia berjanji. "Tetapi kalian harus selalu di dekatku. Aku tak kuat menghadapi lima orang sekaligus!" Banyolan Chet itu membuat teman-temannya tertawa. Dengan semangat tinggi mereka melanjutkan perjalanan. Mereka tiba pada suatu jembatan panjang, yang menjulur dari daratan Florida ke tengah laut. "Di mana kita sekarang ini?" tanya Biff. "Kita sedang menyeberangi Intracoastal Water-way," kata Frank. "Key Blanco berada tepat di hadapan kita. Ini adalah jembatan antar pulau yang terpanjang di daerah Florida Keys ini." Joe membelok ke selatan di Jalan Raya Laut, yang menghubungkan rangkaian pulau-pulau tersebut. Mereka melaju dari jembatan yang satu ke jembatan yang lain, sambil menikmati sinar matahari, udara yang hangat serta air yang biru-hijau di kiri kanan mereka. Jalan Raya Laut ini merupakan jalan raya di atas laut yang terpanjang di dunia," kata Joe. "Setidaknya, itulah yang tertulis di ensiklopedi." "Bagus untuk olahraga menyelam," kata Chet, melihat luasnya perairan. "Tetapi kita kemari untuk memecahkan suatu perkara," Joe memperingatkan. "Bukan untuk berlibur!" "Yaaah!" seru Chet kecewa. "Apakah kita tak dapat menyelam setelah menangkap penjahat?" Frank tertawa. "Barangkali." Kapal-kapal Angkatan Laut meluncur di laut, meninggalkan jejak putih berbuih. Pesawat-pesawat AL mendengung-dengung di udara. Suatu formasi Phantom mendesing begitu rendah, seperti hendak terjun ke laut. Desingan mesin jet itu memekakkan telinga bagi mereka yang ada di dalam mobil. Dengan beruntun, pilot-pilot itu menerbangkan pesawat mereka membentuk busur melengkung, lalu melesat di kejauhan. Dalam sekejap saja, mereka telah hilang dari pandangan di langit yang cerah. Mereka menyeberangi jembatan ke arah Key West, pulau yang terakhir. Dengan perlahan mereka memasuki jalan-jalan sempit di antara deretan rumah-rumah yang rapat. Dekat di ujung selatan, mereka melihat papan bertuliskan: Pangkalan Angkatan Laut Key West. Tepat pada saat itu Chet melihat sebuah mobil biru, meluncur di jalan samping. "He!" serunya. "itu dia mobil penyelundup itu!" Chapter 7 BAYANGAN MENGINTIP DI MALAM HARI "Mana" tanya Joe. "Di tikungan itu!" kata Chet, sambil menunjuk ke tempat ketika ia melihat mobil kecil berwarna biru. Dengan cepat Joe membelok ke jalan samping tersebut. Mereka melihat mobil biru itu menuju ke tempat parkir. Atas kemauan Chet, Joe mengikutinya, dan berhenti di dekatnya. Si gemuk segera membuka pintu. "Tunggu sebentar!" seru Frank, setelah mengamati mobil tersebut. Tetapi Chet telah ada di luar, melangkah lebar-lebar ke mobil biru. Kedua tinjunya dikepalkan, dan diangkat ketika ia berdiri di samping pintu depannya. Pintu itu terbuka, dan keluarlah seorang perwira AL ! Mata Chet membelalak bulat dan mulutnya ternganga lebar. Dengan kebingungan tinjunya diturunkan. "Ada keperluan apa?" tanya perwira itu. Wajah Chet memerah. "Ah, eh…tidak pak!" ia menggagap. "Saya kira, eh, tuan orang lain." Perwira itu hanya mengangkat bahu, lalu masuk ke markas AL. Chet kembali ke tempat teman-temannya, wajahnya merah bagaikan udang rebus? "Engkau seharusnya berhenti, ketika kupanggil," kata Frank. "Aku melihat nomor mobilnya, bukan nomor mobil yang kita cari!" Chet hanya mengangguk dengan lesu. "Lain kali, kubiarkan kalian saja yang mengejar penjahat!" Mereka melanjutkan perjalanan melalui Key West. Di sana mereka menemukan suatu tempat penyewaan mobil, lalu menyerahkan mobil mereka. "Bagaimana kami bisa sampai di Key Blanco?" tanya Joe kepada penjaganya. "Dengan ferry. Tiga blok lagi ke timur, lalu belok kiri ke arah pantai. Kapal ferry itu akan menurunkan kalian di Kota Blanco." Di dermaga, ferry itu sudah siap untuk berangkat. Dengan segera mereka membeli tiket lalu naik ke kapal. Kira-kira duapuluh orang lagi berdiri di pagar, atau duduk-duduk di bangku-bangku panjang di geladak. Ferry berangkat, menuju ke perairan bebas. Key West segera mereka tinggalkan, dan kapal mulai menerjang ombak yang semakin besar, karena angin yang semakin kencang. Keempat pemuda itu masuk ke sebuah bilik di geladak utama, dan berdiri di dekat jendela, jauh dari orang-orang lainnya. Ketika mereka sedang berbisik-bisik membicarakan perkara lukisan, suatu badai tropik mulai menyerang. Kapal menjadi oleng, naik turun dihempas ombak. Ombak-ombak yang besar memecah di haluan, menyiram air ke jendela-jendela. Chet menjadi pucat dan gemetar, setiap kapal itu membelah ombak. Dengan perut mual, ia dengan sebelah tangan memegangi pinggang, dan yang sebelah lagi berpegangan pada ambang jendela. "Kukira, sebaiknya aku duduk saja," katanya dengan parau. Dengan terhuyung-huyung ia berjalan ke sederetan kursi yang kosong. Ia menghempaskan diri di kursi, lalu bersandar ke belakang. Tak lama kemudian ia tertidur! Suara mendengkur yang teratur segera terdengar di ruangan itu. "Chet mendengkur," kata Frank sambil tertawa. "Jangan lupa membangunkan dia kalau sudah sampai!" Tetapi ternyata ia telah bangun sendiri, ketika kapal masuk ke dermaga di Kota Blanco. Badai telah reda, dan Chet bergegas ke antrian yang paling depan, diikuti oleh teman-temannya. Frank bertanya kepada penjaga karcis, bagaimana caranya dapat sampai di Teluk Penyelundup. "Satu mil ke utara," jawab orang itu. Betul, di sana ada sebuah rumah yang besar di atas batu karang, rumah keluarga Wester. Kalian dapat berjalan kaki sepanjang pantai." Mereka berjalan kaki berkelompok. Tetapi tak lama kemudian Chet sudah tertinggal. Ia berusaha keras untuk menempatkan kakinya di atas pasir. Peluhnya bercucuran dan ia mulai mendengus-dengus kepayahan. "Ini sih pembunuhan!" ia mengeluh. "Tahan, Chet, " kata Frank, "Kita hampir sampai." Joe menunjuk ke sebuah rumah di atas batu karang. "Itu tentu, rumah Wester." Tangga dari balok-balok kayu menanjak terjal ke atas. Setelah sampai di atas, mereka berada di serambi belakang sebuah rumah besar, yang lantainya terbuat dari batu alam. Dari sana mereka dapat memandang luas ke Teluk Penyelundup. Teluk itu dibatasi oleh pantai yang sempit, melingkar dari bawah batu karang sampai daratan lain di seberang. Mereka memutar menuju ke pintu depan. Rumah itu menghadap pada suatu belukar pohon bakau dan tumbuhan tropis lainnya. Frank menekan bel. Seorang pembantu wanita mengantar mereka ke kamar duduk, pak Harrison sedang memeriksa sederetan lukisan di dinding. Ia bertubuh sedang, berambut putih dan berjalan pincang, bertopang pada sebuah tongkat yang kuat. "Aku terluka sewaktu berolahraga selam," ia menjelaskan. "Karena itu aku tak dapat melakukan perjalanan dengan baik. Kakakku Raymond mengatakan, bahwa kedua anak Hardy akan datang kemari. Tetapi sekarang yang kulihat ada empat orang!" "Bantuan, pak," kata Frank. "Chet Morton dan Biff Hopper. Saya harap anda tak berkeberatan." "Tentu saja tidak. Aku mempunyai cukup banyak kamar,"kata pak Wester sambil tertawa kecil. "Asal saja kalian dapat menemukan kembali lukisanku. Ketika Raymond menelepon dari Bayport, ia mengatakan bahwa potret Simon Bolivar sedang menuju kemari, dibawa oleh dua orang suruhan. Aku sampai tak sabar menunggu. Tetapi gambar itu tak pernah sampai. Demikian pula orang-orang suruhannya, mereka tentu telah mencurinya." "Apakah anda mengira, bahwa lukisan itu sudah sampai di sini?" tanya Joe. Pak Wester mengangkat bahu. "Itu mungkin saja. Pulau ini sangat terkenal akan penyelundupannya. Tindakan yang paling mudah untuk para pencuri ialah membawanya dari sini ke suatu tempat di mana mereka dapat menjualnya. Sekarang mungkin sudah keluar lagi dari Key Blanco. Kalau memang demikian, tolonglah bawa kembali kemari. Bagaimana pun, aku mengharap kalian dapat menemukannya." "Kami mendapat petunjuk yang tepat," Joe mengungkapkan. "Salah seorang pencurinya meninggalkan sidik jari ketika menurunkan lukisan dari dinding. Namanya Ignas Nitron. Apakah anda mengenal dia, barangkali?" Pak Wester menggeleng. "Belum pernah mendengar nama itu." "Ada petunjuk lain lagi," Frank menambahkan. "Kami menemukan pestol anda di Homestead." Pak Wester nampak terkejut. "Apa maksudmu? Pestolku?" Frank menjelaskan tentang Tom, si jangkung yang menjadi teman Nitron pada waktu mencuri. Ia menuturkan, bagaimana Tom dan Fatso telah dikirim ke Bayport, untuk menakut-nakuti mereka, agar mau melepaskan perkara yang mereka tangani. Demikian pula, ketika mereka telah menyerang Raymond Wester di Hotel Bayport. Kemudian, para penjahat itu telah mereka bayangi berempat, sejak dari Miami sampai di Homestead. Di sanalah Tom menjatuhkan pestolnya, ketika bergumul dengan mereka berempat di sebuah gang. "Kami membawa pestol itu ke kantor polisi. Mereka memberitahu, bahwa pestol itu terdaftar atas nama anda," detektif muda itu mengakhiri ceritanya. Pak Wester kelihatan agak ketakutan. Ia membuka lacinya dan ternyata kosong. "Aku tak tahu sama sekali tentang mereka ini," katanya. "Aku juga tak tahu, bagaimana mereka dapat memiliki pestolku. Aku tak merasa kehilangan, karena beberapa minggu terakhir ini aku tak lagi berlatih menembak. Hanya untuk itulah gunanya pestol itu. Selain itu, ia selalu kusimpan di sini," katanya sambil menunjuk ke laci. "Aku tak dapat membayangkan, siapa yang dapat mencurinya!" "Bagaimana tentang Morphy?" "Sekertaris kakakku itu? Tak mungkin!" "Ia bersekongkol dengan para pencuri," Biff menjelaskan. "Tom sendiri mengungkapkan hal itu kepada Fatso di pesawat." "Morphy juga tak pernah kelihatan lagi semenjak hilangnya lukisan itu," sambung Joe pula. Pak Wester bingung. "Semua ini merupakan hal yang baru bagiku," katanya. Kini ia kelihatan gugup. "Aku tak pernah curiga terhadap Morphy. Wah, sulit mempercayai orang lain sekarang ini!" "Ini adalah Teluk Penyelundup," kata Chet. "Apakah anda juga berpendapat, bahwa para penyelundup beroperasi dari wilayah ini?" "Yah, sekarang tidak lagi, Chet," jawab pak Wester. "Sebutan itu diberikan pada zaman bajak laut dulu. Saat ini, tak seorang pun dapat membawa barang terlarang dengan leluasa. Mereka segera terlihat dari rumahku ini." "Tetapi pulau ini masih dikenal sebagai tempat untuk melakukan hal-hal yang tidak sah," kata pak Wester, melihat perubahan wajah Chet. "Hanya saja, penyelundupan itu dilakukan di tempat-tempat terpencil, jauh dari keramaian." "Kita harus memeriksa tempat-tempat itu!" kata Chet. Pak Wester mengangguk. "Kuharap saja kalian akan berhasil," katanya. "Kalian lihat gambar pemandangan di atas perapian itu? Besarnya sama dengan potret Simon Bolivar. Sebenarnya aku ingin memasang lukisan itu di sana, sejajar dengan pemandangan itu. Tentu saja, kalau kalian berhasil menemukan potret Bolivar itu! Sesungguhnya, aku sudah seperti melihat potret itu terpampang di situ, sekarang ini," kata pak Wester, sambil tersenyum kecil tak kentara. "Kami akan menemukannya!" kata Chet seperti setengah bersumpah. Wester mengantarkan mereka berkeliling rumah, sambil terpincang-pincang bertopang pada tongkatnya. Ia menunjukkan kamar-kamar bagi mereka di lantai dua. "Sampai nanti di meja makan. Setelah itu, kalian kupersilakan memulai memecahkan rahasia hilangnya lukisan itu." Dengan terpincang-pincang ia turun, sementara tamu-tamu itu memeriksa kamar mereka. Kemudian mereka berkumpul di kamar Frank, untuk membicarakan rencana mereka. "Kita harus merahasiakan semua tindakan kita," Frank memperingatkan. "Kita akan menyamar sebagai penyelundup, tanpa memberitahu kepada Wester. Sebab ia mungkin akan merusak rencana kita. Semakin kurang ia terlibat, semakin baik." "Itu bukan masalah," kata Joe. "Apa yang ia inginkan, hanyalah menemukan gambar itu. Bagaimana cara kita melakukannya, ia tak akan perduli." Teman-temannya setuju. Bel tanda untuk makan berbunyi, dan mereka menuju ke kamar makan. Lapar karena perjalanan yang jauh, maka dengan bersemangat mereka menyerbu ayam goreng dan kue-kue yang tersedia. "Aku usul," kata pak Wester, "Kalian mulai saja penyelidikannya di Kota Blanco, mungkin akan mendapatkan petunjuk petunjuk di sana." "Itu ide yang baik," kata Frank. "Kalian tentu lebih tahu tentang pekerjaan detektif daripada aku," sambung pak Wester. "Nah, anggaplah rumah ini sebagai markas kalian. Di almari es itu selalu ada makanan kecil. Kalian juga boleh menggunakan kaset stereo di kamar tengah kalau ingin." Ia berdiri dari meja, lalu terpincang-pincang masuk ke kamar kerjanya. Keempat pemuda itu menuju ke kamar tengah, mendengarkan musik country sampai ngantuk. Kemudian mereka masuk ke kamar tidur masing-masing. Di tengah malam, Frank tiba-tiba terbangun, mendengar langkah-langkah orang di kamar besar. Sebuah bayangan mengendap-endap menuju ke tangga! "Akan kulihat, apa yang hendak dilakukan orang itu," pikir Frank. "Tentunya pencuri!" Dengan diam-diam ia mengikutinya. Bayangan itu turun dan masuk ke kamar tengah. "Barangkali ia hendak mencuri lukisan-lukisan yang ada di dinding," pikir Frank. Tetapi bayangan itu terus menuju ke dapur, melalui kamar makan! "Jangan-jangan ia telah berhasil mencuri!" pikir Frank. "Ia tentu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Aku harus mencegatnya!" Dalam sekejap, detektif muda itu melesat ke pintu belakang, lalu menguncinya. Bayangan yang mencurigakan itu kini berdiri di dekat almari es! "Chet" seru Frank. Chet tertawa cekikikan. "Aku mencari makanan, seperti yang dikatakan oleh pak Wester. Aku yakin, engkau pun mengikuti aku untuk tujuan yang sama! Engkau ingin makan juga!" "Makanan!" kata Frank marah. "Kukira engkau seorang pencuri!" Chet tertawa. "Apakah aku seperti maling?" "Mengapa tidak? Maling juga ada yang gemuk! " "Sudahlah! Jangan katakan aku gemuk. Yang tepat ialah penuh gizi!" "Chet," kata Frank dengan jengkel. "Ini sudah lewat jam tiga malam. Aku tak mau berdebat tentang bentuk tubuhmu. Tetapi aku mengharap, janganlah aku dibangunkan kalau tak perlu!" Chet mengambil dua potong kue dari almari es, lalu diletakkan pada sebuah piring. "Ini, ambillah sepotong. Ini akan membuatmu merasa lebih segar." Frank tak dapat menahan tertawanya. "Obat mujarab model Morton untuk segala jenis penyakit! Terimakasih!" Setelah selesai makan, mereka membersihkan dapur, lalu kembali tidur. Beberapa saat kemudian, Frank terbangun lagi. Ia mendengar langkah-langkah kaki. "Aku heran! Apa saja yang dilakukan Chet di rumahnya sendiri," pikirnya. "Setiap kali bangun untuk makan!" Ia enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Tetapi naluri detektifnya tak mengijinkan dirinya kembali tidur. Jangan-jangan bukan Chet! Ia bangkit, lalu membuka pintu. Bayangan yang mencuri-curi sudah nampak di tangga! Frank mengikutinya dengan diam-diam. Ia tak mau membangunkan yang lain-lain. Baru saja ia hendak mendahului Chet ke lemari es, dilihatnya bayangan itu menuju ke pintu depan, lalu membukanya! Fajar baru mulai merekah, dan keremangan itu memungkinkan Frank untuk melihat dengan cukup nyata, "He!" serunya. "Berhenti!' Orang itu berbalik sejenak, lalu lari keluar dari pintu sambil membantingnya hingga tertutup kembali. "Mark Morphy!" seru Frank tertahan. Chapter 8 PENYAMARAN YANG CERDIK Untuk sesaat, tertutupnya pintu itu menghentikan pengejaran Frank. Ketika ia sampai di luar, Morphy telah mulai menuruni tangga menuju ke pantai. Frank mengejar secepat-cepatnya, turun ke Teluk Penyelundup. Morphy lari menuju ke sebuah perahu bermotor tempel, yang ditarik ke atas pasir. Karena tak bersepatu, Frank lebih beruntung. Ia berhasil memperkecil jarak, dan akhirnya menangkap Morphy di tepi air. Keduanya jatuh bergulingan dalam pergumulan yang seru. Morphy berhasil melepaskan diri, lalu melompat bangun hendak lari. Tetapi kaki Frank berhasil menggaetnya, dan sekali lagi Frank menubruknya. Berkelahi mati-matian. Akhirnya Morphy meraup pasir, lalu dihamburkannya ke wajah Frank! Menjadi buta sesaat, Frank mengusap-usap matanya yang pedih. Ketika dapat membuka mata kembali, ia melihat Morphy sedang mendorong perahunya ke dalam air, lalu melompat menaikinya. Mesin tempel segera dihidupkan. Perahu menjauh dari tepi, membelok ke kiri mengitari karang, lalu menghilang. Hanya suaranya yang terdengar makin menjauh! Frank menjadi kalap! Dengan mata pedih, ia memandang ke buronannya. Ia marah terhadap diri sendiri, gagal menangkap musuhnya. Ia kembali ke rumah, lalu membasuh wajahnya yang penuh pasir di kamar mandi. Tak seorang pun yang sudah bangun, kecuali pembantu rumah tangga. Frank berganti pakaian, lalu menuju ke kamar duduk. Ia berusaha menenangkan diri dengan membaca-baca majalah. Ketika pak Wester dan teman-teman turun untuk sarapan, ia memberitahukan apa yang telah terjadi. Pak Wester terkejut sekali. "Morphy belum pernah kemari sebelum ini! Aku hanya mengenalnya di rumah Raymond di Bayport. Apakah engkau merasa pasti mengenali dia?" "Kakak anda menunjukkan potretnya kepada kami. Tak ragu lagi, dialah orang yang saya kejar tadi pagi." "Tetapi mengapa dia kemari?" "Ia tahu, bahwa anda mempunyai banyak lukisan yang berharga," Joe menyela. "Barangkali ia hendak mencuri lagi." "Tetapi untuk apa ia berada di atas?" tanya Chet. "Barangkali ia mencari lukisanku karya Degas!" kata pak Wester dengan tegang. "Ia adalah milikku yang paling berharga! Dulu, lama sekali gambar itu kugantungkan di kamar makan. Tetapi kini kugantungkan di kamar tidurku. Sebab aku senang sekali melihatnya sebelum tidur." "Apakah Morphy tahu tentang lukisan itu?" tanya Frank. "Mungkin sekali Raymond pernah mengatakan, ketika menceritakan kesenangan kami akan lukisan-lukisan," jawab pak Wester. "Nah, terserah kalian anak-anak muda, untuk menyelidikinya! Chet, kudengar engkau mengalami kesulitan berjalan di sepanjang pantai. Engkau tentu senang mengetahui, ada jalan setapak di sepanjang puncak batu karang." "Apakah anda tidak menelepon polisi, tentang peristiwa Morphy pagi tadi?" tanya Frank. Pak Wester bimbang sebentar. "Aku kurang jelas apa yang akan mereka kerjakan tentang barang yang hilang. Aku akan memikirkannya. Sementara itu, aku menggantungkan seluruhnya kepada kalian, untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi." Dengan berkata demikian, ia terpincang-pincang menuju ke kamar kerjanya. Pemuda-pemuda tersebut menyelesaikan sarapan mereka, kemudian berangkat menuju ke Kota Blanco. Di sepanjang jalan mereka mempercakapkan, bagaimana mereka akan menyamar, kemudian menemui para penyelundup. "Kita menyamar saja sebagai pelaut," Frank mengusulkan. "Ide yang bagus," kata Joe. "Dengan demikian, kita dapat berkeliaran di pantai, di antara para penyelundup. Tanpa dicurigai!" "Bagaimana dengan wajah kita?" tanya Chet. "Wajah kita telah dikenali oleh Tom dan Fatso!" '"Itu sudah kupikirkan," jawab Frank. "Ketika tadi aku seorang diri di kamar duduk, aku membaca-baca di buku telepon. Di Market Street ada sebuah toko yang menjual perlengkapan panggung" Chet tertawa cekikikan. "Ide yang hebat!" "Kita dapat membuat wajahmu sedemikian rupa hingga ibumu sendiri tak akan mengenalinya lagi!" kata Frank. "Sayang sekali, kami tak dapat mengubah bentuk tubuhmu!" Chet melemparkan pandangan matanya kepada Frank. "Pelaut juga ada yang gemuk! Tahukah engkau?" Frank tertawa. "Kukira, istilahnya yang tepat penuh gizi!" **** Di sebuah toko perlengkapan Angkatan Bersenjata, mereka membeli pakaian pelaut dan ransel-ransel. Ransel itu untuk tempat menyimpan pakaian mereka sehari-hari. Kemudian mereka menuju ke Market Street. Mereka membeli cat rambut, janggut dan kumis palsu untuk Chet. Kemudian mengenakan penyamaran tersebut di sebuah sudut yang sepi pada suatu taman. Setelah siap, mereka berjalan menuju ke pantai, mereka yakin tidak diikuti orang. Di pelabuhan, banyak kapal yang sedang mengangkat muatan diangkat oleh kuli-kuli pelabuhan. Sementara para pedagang mencatat barang-barang muatan. Pelaut-pelaut bersantai-santai di pantai, dan para penonton berjalan-jalan berkeliling, melihat-lihat pemandangan yang mengasyikkan. "Berjalanlah yang wajar," bisik Frank memperingatkan teman-temannya. "Ceritanya, kita mempunyai barang-barang yang berharga, dan sedang mencari pembeli. Akur?" "Kita akan selalu mempercakapkan hal itu," kata Joe. "Dengan harapan, ada orang yang mendengarnya, lalu tertarik untuk menawar." "Jika kita mendapat mangsa," usul Biff, "katakan saja kita mempunyai mesin hitung elektronik. Kudengar, barang-barang itu yang paling laku sekarang." Mereka mengatur siasat, lalu membaurkan diri dalam kegiatan yang membisingkan di pelabuhan. Mereka berjalan-jalan sambil bercakap keras-keras, mengenai muatan berharga yang hendak mereka jual. Sejumlah pelaut, kuli pelabuhan dan pengusaha berpaling dan mendengarkan. Tetapi tak ada yang ikut berbicara. Akhirnya mereka berhenti di ujung pelabuhan. Mereka mendapatkan sebuah bangku panjang, lalu meletakkan ransel-ransel mereka. Mereka duduk sambil membicarakan tindakan mereka selanjutnya. "Mari kita coba di warung kopi dan rumah makan," usul Frank. "Di sana biasanya para pelaut berkumpul, duduk-duduk selama mereka mendarat." Semua setuju. Tetapi ketika mereka hendak berdiri, Joe mendengar suara bergemerisik di semak-semak di belakang mereka. Ia berpaling, dan melihat seseorang sedang mengintai mereka di antara ranting-ranting belukar. Orang itu sadar bahwa telah ketahuan, lalu melepaskan ranting-ranting yang disibakkannya. Joe melompat menerobos semak-semak diikuti oleh yang lain-lain. Buronan itu lari melalui jalan kecil di luar daerah pelabuhan. Setelah mencapai gedung yang paling dekat, yaitu sebuah rumah makan, ia masuk dari pintu belakang. Joe menyusul, berlari-lari di antara tungku-tungku dan meja masak, membuat takut koki kepala dan pembantu-pembantunya yang sedang bekerja. Buronan itu membelok melalui pintu angin, masuk ke dalam ruang makan. Ia berlari-lari di antara meja-meja, mendorong pelayan kepala ke samping,lalu keluar melalui pintu putar. Setelah melewati jendela pajangan, ia menghilang. Joe berada di urutan kedua. Tetapi sekarang, pelayan kepala berdiri di depannya, dengan kedua tangannya terangkat ke atas. Frank, Biff dan Chet berhenti di belakang Joe. "Kau pikir, rumah makan ini milik nenek moyangmu ya? tanya pelayan itu. "Kami sedang mengejar seorang buronan," Joe menerangkan. Pelayan kepala itu menjadi pucat! "Apakah ia telah mengambil uang dari kasir?" "Belum," kata Joe marah. "Tetapi mungkin saja, kalau tidak kami tangkap. Dia tentu melarikan diri, kalau engkau tak memberi jalan!" Orang itu menyisih ke samping. "Teruskan mengejar! Kalau dia mencuri sendok-garpuku, awas, aku akan mengajukan tuduhan!" Keempat pemuda itu keluar ke trotoar, menengok ke sana @pkemari. Tetapi si penguping itu tak nampak batang hidungnya. "Dasar sial, Joe menggerutu. "Menurut engkau, siapa dia itu?" Frank mengangkat bahu. "Mungkin ia mendengar yang kita bicarakan sebelumnya, lalu menjadi curiga." "Kalau ia mau berdagang, tak perlu ia lari," kata Biff. "Betul," Frank mengaku. "Tetapi dari penglihatanku, ia berwajah sangat jujur. Ia juga membawa alat potret, dikalungkan di leher. Kukira ia seorang wartawan muda, yang sedang mengejar berita hangat. Ketika kita bangkit hendak menangkap dia, ia menjadi ketakutan." Joe mengangguk. "Aku juga tak percaya, bahwa Tom, Fatso atau Morphy telah mengenali kita dalam penyamaran begini. Jadi, mereka tentu tidak menyuruh orang untuk memata-matai kita." "Kita juga tak dibayangi orang, ketika sedang memakai janggut dan segala tetek-bengek ini," Chet menyambung. Mereka kembali ke bangku. Baru saja mereka hendak mengambil ransel-ransel mereka, terdengar suara gemerisik di semak-semak seperti tadi. "Stt," bisik Frank. "Itu dia lagi. Kali ini kita memecah menjadi dua. Kita coba, apakah dapat menjebaknya di tengah-tengah." Dengan cepat Biff dan Chet memutar mengelilingi semak. Ketika mereka telah tak nampak, Frank dan Joe berjalan lurus menuju ke semak-semak, tempat datangnya suara. Sesosok tubuh nampak dibelakang ranting-ranting. Empat sekawan serentak menyerbu, dan orang asing itu terbanting ke tanah. "Oke, pandir!" Chet berkata dengan mengertak gigi. "Kali ini engkau tertangkap juga!" "Siapa itu Pandir?" tanya tawanan mereka. Pada saat itu juga mereka sadar, bahwa ia bukan orang yang tadi mereka kejar. "Ada orang yang memata-matai kami, beberapa menit yang lalu. Kami kira, engkaulah orang itu," Frank menjelaskan. "Bukan aku. Aku ingin membicarakan tentang barang-barang yang kausebut di pelabuhan tadi. Barangkali saja kita dapat melakukan hubungan dagang, itu maksudku. Tetapi kalian malahan menghantam aku!" Dengan hati-hati mereka melepaskan tawanan mereka, yang segera merayap bangun. Ternyata ia sebaya dengan mereka, mengenakan pakaian pelaut. "Maafkan, atas kesalahan kami," kata Frank. "Siapa engkau?" "Junior Seetro. Aku tak sempat berbicara dengan kalian tadi, karena terlalu banyak orang. Tetapi aku tahu, kalau seorang pelaut bertingkah laku seperti kalian, ia tentu akan menjual barang. Karena itu aku mengikuti kalian. Bagaimana? Ingin membicarakan hal itu?" "Tentu," jawab Joe. "Mari duduk di sini." Ia mengajak ke bangku. Di sekitarnya tak ada orang yang dapat mendengar mereka. "Aku juga lihat orang yang mencuri dengar kalian tadi," kata Junior tanpa ditanya. "Nampaknya seperti seorang pramuka. Aku juga mengejar dia. Nah, katakan. Apa yang kalian punyai?" "Kalkulator elektronik," jawab Frank. Junior manggut-manggut. "Aku tahu seseorang yang mau membeli barang demikian. Bayarannya bagus. Ingin bertemu dengan dia?" "Tentu! Mengapa tidak?" jawab Biff sembarangan. "Oke. Tunggu saja di sini. Aku akan menelepon." Junior Seetro pergi ke telepon umum yang terdekat. Ia berbicara beberapa menit, lalu kembali ke bangku. "Beres!" katanya. "Kita pergi dengan mobilku." Ia mengajak ke sebuah Cadillac tua di tempat parkir. Frank dan Joe saling berpandangan. Keduanya berpikiran yang sama. Apakah mereka akan masuk perangkap? Frank merasa, ada harganya untuk mengambil risiko. Sebab mereka berhadapan empat lawan satu dengan Junior. Ia mengangguk diam-diam. Mereka meletakkan ransel di tempat bagasi, lalu masuk ke dalam mobil. Junior yang memegang kemudi. Mereka berjalan kira-kira sepuluh mil, ke sebuah rumah di dalam hutan. Letaknya di Teluk,tertutup rapat oleh pohon-pohon dan semak-semak. Sebuah perahu besar berukuran tujuhbelas meter tertambat pada sebatang pohon. Junior membuka pintu rumah, dan semuanya masuk kecuali Biff. Ia merasa, akan lebih aman jika ada seseorang yang menjaga diluar. Sebuah meja di sudut ruang depan memamerkan sekumpulan barang berharga. Antara lain seperangkat tempat lilin dari emas dan dua buah kendi dari perak. Joe mengangguk kepada kakaknya. "Barangkali barang-barang curian dari rumah pak Wester," ia berbisik. "Tetapi aku tak melihat lukisan yang hilang itu," Frank berbisik kembali. Junior pergi ke kaki tangga, lalu berseru: "Pak N.! Kami datang!" Ia lalu kembali menemui keempat pemuda. "Kalian menemui orang yang tertinggi. Bapak ini menerima segala barang emas di daerah ini. " Pikiran yang serupa menyelinap di benak kakak beradik. Apakah mereka akan bertemu dengan Ignas Nitron? Biff mendengar percakapan itu dari luar, lalu masuk. Ia merasa cukup aman untuk meninggalkan pos penjagaannya. Ia masuk tepat pada waktunya, untuk melihat seseorang berotot kekar dengan rambut hitam sedang turun dari tangga. Tanpa memberi salam, orang itu melotot memandangi keempat pemuda tersebut. "Kalian hendak bertemu dengan aku?" katanya dengan suara keras. "Kami mempunyai dagangan," kata Frank. "Junior mengatakan, bahwa anda akan tertarik." "Siapa kalian ini?" "Pelaut. Nama saya Frank. Ini adalah Joe, Biff dan Chet. Kami bekerja pada kapal yang berbeda-beda. Kebanyakan dari daerah Pantai Barat. Kami mendapatkan muatan ini " "Bagaimana aku bisa mempercayai kalian?" orang itu mengomel. Frank mencoba mengambil kesempatan. "Memang tak bisa," jawabnya tegas. "Tetapi kami mendengar, bahwa anda pantas ditemui." "Di mana kalkulator-kalkulator itu? ia bertanya. "Kami sembunyikan di pantai Florida. Di sebelah selatan Miami," jawab Frank dengan cepat. "Terlalu panas untuk dikerjakan sekarang. Jika keadaan telah dingin kembali, kami akan membawanya kemari dengan perahu kami." Nitron manggut-manggut. "Oke. Rupanya kalian tahu apa yang kalian lakukan." "Kami memang telah banyak berdagang," kata Chet. "Dan kami belum pernah tertangkap!" sambung Biff. Nitron mengusap-usap dagunya. "Aku dapat menggunakan tenaga kalian." katanya. "Bagaimana kalau bekerja untukku ?" "Oke saja, kalau memang menguntungkan," jawab Frank. "Itu pasti ! Namaku Ignas Nitron. Aku akan membayar kalian, masing-masing seratus untuk malam ini," kata Nitron selanjutnya. "Nanti kalian mendapat bagian, kalau aku sudah selesai mengerjakan usahaku." "Kapan kami mulai ?" tanya Joe. "Sekarang juga !" Chapter 9 TUGAS PENUH BAHAYA "Orang-orangku segera datang," kata Nitron selanjutnya. "Kami perlu mengambil muatan, dan memerlukan tenaga tambahan." Selesai ia berbicara, pintu diketuk. Tiga orang masuk secara beruntun. Mereka memandangi keempat pemuda. Kemudian ia memberi isyarat agar berangkat. Komplotan itu menuju ke teluk, lalu naik ke perahu besar. Junior Seetro melepaskan tali tambatan, lalu melemparkannya ke geladak. Ia sendiri lalu melompat naik. Nitron menghidupkan mesin, dan sebentar kemudian mereka telah berlayar keluar dari teluk. Perahu itu melaju melewati Key West, BocaChica Key dan Sugar Loaf Key. Tepat sebelum Big Pine Key, Nitron mematikan mesin. Ia melihat ke jam tangannya, lalu berkata: "Kita menunggu isyarat di sini." Beberapa saat kemudian, setelah isyarat datang dari pantai. Suatu cahaya yang terang ditujukan pada suatu titik tertentu di geladak. Cahaya itu berkedip-kedip dengan jarak waktu yang berbeda-beda. Frank dan Joe mengerti, bahwa seseorang di Big Pine Key sedang berkomunikasi dengan sandi Morse. Mereka memang telah berlatih menggunakan sandi pada tugas-tugas mereka. Isyarat itu berbunyi: "TELUK HONDA JAM SEMBILAN." Kemudian cahaya itu padam. "Kita tak akan masuk sebelum jam sembilan. Kalau kalian mau, mendengarkan musik, putar saja kasetku di bawah." Keempat pemuda itu turun ke kabin. Beberapa menit kemudian Junior menemani mereka. "Senang juga bisa beristirahat," katanya, lalu menghempaskan dirinya di kursi. "Mengapa ?" tanya Frank. "Engkau tak senang bekerja di sini ?" Junior mengangkat bahu. "Setiap saat harus waspada terhadap hukum, lama-lama bosan juga ! Aku belum pernah masuk penjara. Tetapi aku kenal beberapa orang yang telah mengalaminya. Lebih baik tak usah mengikuti jejak mereka !" "Itu betul," kata Joe. "Tetapi di mana lagi bisa mendapatkan uang seperti di sini ?" "Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah hal ini cukup berharga," jawab Junior sambil memasang kaset. "Tetapi aku memang tak punya pilihan lain." "Maksudmu ?" tanya Joe ingin tahu. Junior menghela napas. "Ah, tak apa-apa. Lupakan saja." Karena ia tak mau lagi berbicara, Frank dan Joe tak mau mendesak lagi. Setidaknya, untuk sementara. Mereka lalu membicarakan soal-soal mengenai para gerombolan, yang kini harus mereka patuhi. Pada jam delapan tigapuluh, Nitron menghidup kan mesin, dan mereka menuju ke pulau Big Pine. Kegelapan telah menyelimuti lautan tropis itu. Mereka tak jelas ke mana mereka pergi. Nitron memasuki sebuah teluk kecil. Ia sudah hafal daerah itu, seperti mengenali jari-jari tangannya sendiri. Ia menjalankan perahunya dengan penuh keahlian ke teluk yang sempit. Junior melompat ke pasir pantai sambil memegang tali, lalu ditambatkan pada sebatang pohon. Semuanya turun, dan Nitron memberi isyarat dengan lampu senternya. "Ke sini!" terdengar suara seperti orang gagu. Para penyelundup berjalan menuju ke suatu tempat yang tersembunyi dan terlindung oleh hutan bakau. Seseorang nampak berdiri di samping setumpuk peti-peti kayu. Ia maju ke depan, lalu berjabatan tangan dengan Nitron. "Semuanya lengkap, Roberto ?" tanya Nitron. "Tak ada yang ketinggalan," jawab Roberto. "Nah, mari kita selesaikan urusan kita. Aku harus segera kembali." Nitron mengeluarkan seikat uang dari sakunya, lalu diberikannya kepada Roberto. Roberto menghitungnya, lalu mengangguk, menyatakan pembayaran telah cocok. Kemudian ia cepat pergi. "Mari, kita masukkan peti-peti ini ke perahu," perintah Nitron. Setiap peti memerlukan tenaga dua orang. Frank dan Joe mengangkat sebuah peti, lalu diangkutnya ke perahu. "Aku ingin tahu, apa isinya," bisik Frank. "Rasanya berat seperti batu !" Joe mengangguk. Karena ingin mengganti tangan pegangannya, hampir saja peti itu terlepas. "Awas !" Nitron membentak. "Ini berisi arloji Swis yang mahal! Aku tak mau sampai ada yang rusak." Frank dan Joe masukkan peti itu ke perahu, lalu kembali untuk mengangkut yang lain. Chet dan Biffpun mengerjakan demikian. Hal ini berlangsung hingga peti terakhir telah dimasukkan. Selama perjalanan kembali, mereka semua diam tak berbicara. Nitron mengemudikan perahu besar itu menuju ke Key Blanco. Setelah sampai, peti-peti itu disimpan di dalam rumahnya. Frank dan Joe mengangkat peti terakhir. Pada saat itu, mereka hanya berdua di dalam perahu. "Lebih baik kita beritahukan kepada polisi," kata Joe. "Ini adalah barang curian. Kita tak dapat membiarkannya lolos !" "Kalau kita memberitahu polisi sekarang juga, kita tak akan mengetahui, apakah Nitron menyimpan lukisan Wester atau tidak," kata Frank. "Kita tunggu saja dulu, dan lihat situasi yang baik." Mereka lalu membawa peti itu ke dalam rumah, lalu meletakkannya di atas tumpukan. Nitron meremas-remas tangannya dengan senang. "Kerja yang bagus!" katanya. "Kita simpan dulu barang-barang ini untuk beberapa bulan. Kemudian kita jual, kalau suasana sudah tak panas lagi. Bersama-sama dengan kalkulator-kalkulator yang disimpan di Miami." "Nah, itu memberi kita cukup waktu," bisik Frank kepada Joe. Nitron memberikan imbalan masing-masing, lalu berpaling kepada Frank dan Joe. "Kalian berdua, keluar sebentar. Aku ingin berbicara dengan kalian." Dengan takut-takut Frank dan Joe ikut Nitron ke pantai. Apakah Nitron telah mengetahui rahasia mereka? Kalau memang demikian, kesempatan untuk melawan sangat kecil, sebab gerombolan itu besar jumlahnya! Nitron tiba-tiba berhenti lalu berbalik. "Aku menghadapi tugas yang berbahaya," katanya. "Kita akan berlayar ke Egret Island di lepas Dry Tortugas." "Anda menghendaki kami tetap bekerja pada anda?" tanya Frank dengan curiga. Nitron mengangguk. "Tetapi aku harus memperingatkan kalian. Tugas ini penuh risiko. Bicarakan dulu dengan teman-temanmu, putuskan bersama kalau memang hendak ikut." "Kami tidak takut," kata Joe. "Demikian juga Biff dan Chet." "Apa tugas itu?" tanya Frank "Katakanlah, ini melibatkan sesuatu yang sangat berharga. Lagi pula tempatnya penuh dengan petugas hukum. Tetapi kalian akan mendapat bayaran yang tinggi!" Nitron tak mau berbicara lebih lanjut. Ia kembali ke rumah. Frank dan Joe mengikutinya, lalu memberi isyarat kepada Biff dan Chet untuk keluar. Keempat pemuda itu berjalan santai di sepanjang pantai, sementara Frank menjelaskan tawaran Nitron. "Muatan yang dikatakan sangat berharga, jangan-jangan potret Simon Bolivar," ia menyimpulkan. "Apakah kita ikut?" "Tentu!" kata Chet. "Kita sudah berhasil menyelundup di antara mereka, harus tetap ikut serta. Sampai kita temukan apa yang kita cari!" "Tetapi ingat! Nitron telah mengatakan, bahwa hal ini sangat berbahaya!" Chet nampak sedikit khawatir. "Memang. Nah, kalau begitu, barangkali lebih baik salah satu dari kita tinggal di sini. Untuk mengawasi rumah itu. Aku mengajukan diri sebagai sukarelawan!" "Tidak," kata Biff. "Kita kurang tenaga. Tak mungkin dikurangi satu lagi!" "Oke, oke!" kata Chet mengalah. "Jangan dikatakan nanti Chet Morton meninggalkan teman-temannya dalam kesulitan!" Mereka kembali ke rumah, dan Frank memberitahu kepada Nitron bahwa mereka akan ikut serta. "Perkenankan saya menelepon dulu seorang teman, yang menunggu kedatangan kami," sambungnya. "Boleh. Telepon ada di sebelah sana." Frank memutar nomor telepon pak Wester. "Kami terikat oleh tugas sementara ini," katanya, "tetapi jangan khawatir." **** Malam itu mereka tidur di rumah kecil, sedangkan yang lain-lain tinggal di kapal. Di waktu pagi, mereka berangkat menuju ke barat. Mereka berhenti di salah satu pulau dari Torturas, dan Nitron mengizinkan anggota-anggota komplotan itu naik ke darat. Tetapi ia memerintahkan Frank dan kawan-kawannya tetap tinggal di perahu. "Mereka perlu beristirahat," kata Nitron. "Karena itu mereka kubiarkan di darat untuk beberapa jam. Kalian yang menjaga. Aku sendiri perlu tidur sebentar." Ia masuk ke kabin. ketika mereka yakin, bahwa Nitron telah pulas, mereka lalu menggeledah perahu. Mereka mencari-cari, di mana kira-kira lukisan itu disembunyikan. Tetapi di bagian atas, mereka tak menemukan apa-apa. "Kukira ada di bawah,"' kata Joe. "Mungkin Nitron telah melepaskan lukisan itu dari bingkainya lalu digulungnya. Kemudian disembunyikan di dalam salah satu laci di kabin." "Atau di almari besi," sambung Frank. "Kalian bertiga memeriksa laci-laci. Aku yang menangani almari besi. Tetapi hati-hati! Jangan sampai membangunkan Nitron, kalau tak mau dihabisi!" Dengan mengendap-ngendap mereka turun ke kabin, menyelinap didekat bangku tempat Nitron tidur. Mereka melihat alat-alat menyelam, pelampung-pelampung, peta-peta laut dan alat-alat pelayaran. Tetapi tak nampak sebuah lukisan pun. Sementara itu, Frank berlutut di depan almari besi. Ia mengeluarkan kotak detektifnya. Ia mengambil sebuah alat mini untuk mendengar, dan ditempelkan di dekat angka-angka kombinasi kunci rahasia. Sambil meletakkan telinganya pada alat tersebut, ia memutar-mutar angka kombinasi, mencari kombinasi yang tepat untuk membuka pintu almari besi. Tiba-tiba suara Nitron mengguntur di belakangnya "He! Apa yang kaulakukan?" Frank tertegun sejenak, mulutnya terasa kering. Dengan perlahan-lahan ia memutar tubuhnya, berharap mendapat jalan keluar dari bahaya. Ia ternganga heran. Nitron tidak berdiri di belakangnya seperti yang disangkanya! Penyeludup itu tetap terbaring dengan mata tertutup! Hanya bibirnya yang bergerak-gerak. "Apa yang kaulakukan," ia mengulang. "Engkau hendak membawa barang-barang ini ke Key Largo? Kalau begitu, aku minta bagianku! Akan kukatakan …." Sisa kalimat itu hanya terdengar menggumam, tak dapat ditangkap maksudnya. Frank menghela napas lega. "Ia hanya mengigau," pikirnya. "Huhh! Hampir copot jantungku!" Masih sedikit gemetar, ia kembali menghadapi almari besi, mencoba-coba berbagai kombinasi. Akhirnya ketemu juga, dengan sangat hati-hati, sesenti demi sesenti ia membuka pintu, lalu mengintip ke dalam. Almari besi itu kosong! Chapter 10 KAKEK AHLI KIMIA Dengan diam-diam Frank menutup kembali almari besi, lalu menyelinap lewat di dekat Nitron yang masih tidur. Ia naik ke atas, ke geladak. Teman-temannya sudah ada di sana. "Tak ada apa-apa di almari besi," ia melapor. "Tak ada apa-apa sama sekali?" tanya Chet tak percaya. "Tidak. Aku tak dapat me…" Ia berhenti, mendengar langkah-langkah kaki. Nitron keluar dari kabin, membawa sebuah peta laut. Peta itu dibeber di atas sebuah lemari di buritan. "Inilah Egret Island," katanya kepada mereka, sambil menunjuk ke sebuah tempat di peta. "Kira-kira setengah perjalanan antara Florida dan Dry Tortugas. Masalah kita ialah, banyaknya polisi yang berpatroli di daerah itu." "Mereka mungkin akan menahan kita," kata Joe. Nitron mengangguk. "Karena itu aku telah memperingatkan bahwa ini adalah tugas yang berbahaya! Jika polisi menahan kita, aku ingin, agar kalian dan Junior segera bertindak. Kalian harus segera berkelahi untuk menarik perhatian mereka. Dengan demikian, aku dapat mengamankan muatan bersama ketiga orangku." "Meninggalkan kami sebagai kambing hitam?" tanya Joe, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Aku akan membayar kalian, masing-masing limaratus! Tetapi kalau kalian tertangkap, itu urusanmu sendiri." Keempat pemuda itu saling berpandangan. "Kini aku tahu!" kata Frank sambil mengertakkan gigi. "Anda berani membayar kami tinggi, tetapi anak buah anda tak melibatkan diri dalam bahaya!" Nitron hanya mengangkat bahu. "Limaratus, terserah pada kalian tinggal mau atau tidak!" Pada saat itu anak buah Nitron berdatangan dari istirahat mereka di darat. Nitron menjelaskan siasatnya kepada mereka, dan tak lama kemudian ia menghidupkan mesin perahunya. Ia mengarahkannya ke Egret Island. Keempat pemuda Bayport itu berunding dengan berbisik-bisik. "Kita tak mungkin dapat melindungi coro-coro ini melawan polisi!" bisik Biff. "Kita memang tak akan melakukan hal itu," bisik Frank kembali. "Tetapi kita harus bertahan di sini selama mungkin, untuk menemukan lukisan itu!" Junior ikut angkat bicara. "Cocok sekali!" ia menggerutu. "Siapa yang akan menanggung risiko yang berbahaya itu? Bukan dia dan begundel-begundelnya, bukan! Kita yang harus melindungi mereka, sehingga mereka dapat menyelamatkan muatan itu dan melarikan diri!" "Apakah dia pernah berbuat yang demikian ini sebelumnya?" tanya Biff. "Sudah tentu! Dan selalu aku, atau orang lain seperti aku." "Kalau begitu, mengapa engkau tetap ikut?" "Kalau tidak ikut, aku sudah tak mungkin bisa berkeliaran begini. Kaukira aku senang terlibat di sini? Ia memaksa aku, karena ia telah menguasai aku. Nah, sekarang, kalian sudah seiring sejalan dengan aku!" "Aku jadi tak mengerti!" kata Biff. "Dia kan tak mungkin melaporkan kepada polisi?" "Lebih kejam daripada polisi, ia mempunyai algojo sendiri, yang akan melakukan tugas itu. Ia juga tak akan mengirimkan engkau ke penjara. Yang pasti ke dasar laut!" Junior mengangkat bahu tak berdaya. "Kalian memang baik-baik. Aku sungguh-sungguh menyenangi kalian. Maafkan aku, karena telah melibatkan kalian ke dalam komplotan busuk itu, tetapi aku tak punya pilihan lain." "Aku senang engkau menceritakan semuanya itu," kata Frank. "Barangkali saja kita dapat menemukan jalan keluar. Mari, kita pikirkan hal itu." **** Nitron menghentikan perahunya. Egret Island nampak di kaki langit. Ia mengambil sebuah teropong yang kuat, dan dengan seksama ia meneliti daerah pantai. "Ada kapal di sana," katanya. "Dari utara ke selatan. Kita akan masuk kalau ia telah pergi. Semoga tidak ada kapal lain yang muncul lagi!" Dengan wajah tegang Nitron menjalankan perahu ke dekat pulau, lalu membelok ke utara. Keempat pemuda itu melihat rumah-rumah peristirahatan yang menghadap ke laut. Lebih jauh lagi, yang nampak hanya pohoh-pohon dan semak-semak. Kawanan burung putih berleher panjang terbang di udara. "Itulah burung bangau!" kata Frank. Nitron mengarahkan perahu ke pantai, lewat pohon-pohonan yang rapat, sulur-sulur dan akar-akar bakau. Sebentar kemudian mereka meluncur di sebuah teluk yang dalam, menjorok seratus meter ke darat. Sampai di ujung, Junior melompat ke darat sambil memegang tali, yang lalu diikatkan pada sebatang pohon. Nitron memanggil semua orang ke geladak. "Anak-anak," katanya. "Kalian tinggal di sini menjaga perahu. Yang lain-lain ikut aku ke darat." "Nah, kalau polisi datang, kita yang harus menghadapinya dengan tangan kosong!" Junior menggerutu, setelah para penyelundup itu naik ke darat. Kemudian ia berpaling kepada Frank. "Apakah engkau sudah mendapat jalan keluar yang sip?" "Aku sedang memikirkan, katakanlah, apa yang kauketahui tentang Egret Island ini?" "Tak ada. Aku memang pernah kemari dengan mereka, tetapi ia selalu meninggalkan aku untuk menjaga perahu. Aku tak pernah melihat apa yang mereka kerjakan." "Maukah engkau pergi, melaporkan mereka ini kepada polisi?" tanya Joe. "Engkau bercanda? Mana aku punya bukti! Polisi tak akan percaya kepadaku. Paling-paling aku dilepaskan lagi, disuruh mengintip-ngintip di sekitar sini. Kalau sudah demikian, Nitron tentu memergoki, dan membereskan aku!" "Polisi akan mempercayai kami!" kata Frank. "O, sudah tentu! Siapa kalian? Hanya sekelompok anak kecil di luar hukum!" "Kami ini detektif," kata Frank. "Polisi telah tahu, bahwa kami sedang menyelundup di antara penjahat. Aku Frank dan ini Joe Hardy." "Hardy?" kata Junior terbelalak lebar. "Maksudmu, anak-anak Hardy yang itu?" "Betul. Kami datang untuk menemukan sebuah lukisan yang sangat berharga. Nitron telah mencurinya di Bayport, sebuah potret Simon Bolivar. Pernah melihatnya?" Junior menggeleng. "Tidak, Belum pernah. He, bung! Kalian ini benar-benar anak Hardy?" "Percayalah," kata Chet. "Mereka sedang menangani suatu perkara. Aku dan Biff membantunya." "Dengar! Kita tak dapat membuang-buang waktu," kata Joe. "Apakah engkau tahu, ke mana perginya Nitron jika sedang kemari?" "Aku pernah mendengar, ia menyebut-nyebut sebuah bukit di ujung sana, melalui sebatang pohon palem tinggi, di seberang sebuah empang." "Baik," kata Frank. "Joe dan aku akan pergi. Berusaha untuk menemukan sesuatu. Jika mereka kembali, katakan saja bahwa kami sedang ke hutan mencari buah kelapa. Oke?" "Oke!" kata Junior. "Kalau kalian dapat melepaskan aku dengan selamat, aku tak mau lagi melakukan hal-hal yang melanggar hukum." Joe tersenyum. "Kami akan mengusahakan hal itu." Beberapa saat kemudian, kakak beradik itu menerobos semak-semak. Mereka mengikuti jejak dari ranting-ranting patah dan telapak kaki, yang rupanya bekas dilewati oleh para penyelundup. Jalanan itu menanjak, dan tak lama kemudian kedua pemuda itu berada di puncak sebuah bukit. "Itu dia, pohon palem itu," kata Joe menunjuk "tetapi aku tak melihat empang." "Hanya ada satu yang dapat kita lakukan," kata Frank. Ia melepaskan jaket dan sepatunya, lalu memanjat pohon palem. Kaki dan tangannya bekerja keras, sampai ia dapat berpegangan pada pelepah-pelepah daun. Ia lalu melihat ke sekeliling "Itu dia, di sana," katanya. "Ada sebuah gudang di sisi lainnya. Barangkali itulah tempat yang kita cari." Ia merosot turun, lalu mengenakan sepatu dan jaketnya kembali. Mereka menuju ke empang, mengitarinya, lalu berhenti di rumpun semak-semak. Dari celah-celahnya, mereka dapat melihat sebuah gedung bertingkat. Asap hitam yang tebal mengepul dari cerobongnya. "Ada orang di dalamnya," kata Frank perlahan-lahan. Mereka menyelinap di semak-semak, hingga sampai di samping sebuah jendela yang terbuka. Dengan hati-hati mereka mengintip ke dalam. Yang mereka lihat pertama kali sebuah tungku berapi yang ada ditengah-tengah ruangan. Uap api mendesis keluar dari katup-katupnya. Logam cair meleleh ke dalam saluran besi tuang, dan dari sana mengalir lagi ke dalam periuk besi tuang. Sebuah tong berisi bongkahan-bongkahan timah hitam berdiri pada satu sisi dari tungku. Sebuah lagi berisi ampas bijih ada di sisi lainnya. Gayung, sendok besar dan tang-tang berserakan di lantai. Di dinding tergantung-sebuah daftar tanda-tanda ilmu perbintangan, dan di sampingnya sebuah gambar tata-surya, yaitu planet-planet yang beredar di sekeliling matahari. Di hadapan gambar matahari tertulis EMAS dalam huruf besar-besar. "Aku hampir tak percaya!" bisik Joe. "Seperti laboratorium seorang sarjana yang sinting!" Seorang tua berdiri di samping meja, memegangi sebuah percobaan berisi cairan keemasan berasap putih. Dengan tangan yang satunya ia menarik-narik janggutnya yang panjang putih. Ia mengenakan jubah keemasan, bertotol-totol bintang hitam, dan sebuah topi tinggi yang runcing. "Emas, keluarlah engkau!" kakek itu bergumam, sambil memandangi tabung percobaannya. "Seorang ahli kimia!" Frank mengguman. Kakek itu meletakkan tabungnya di sebuah rak, berjalan ke tungku, lalu mengambil sebuah pengaduk. Sambil bergumam ia memandangi logam cair yang meleleh ke dalam periuk, dan pengaduk itu lalu di masukkan ke dalam sakunya! Seorang yang lebih muda dan berpakaian biasa masuk dari ruang belakang. "Profesor Viga, Nitron dan teman-temannya menunggu di hutan, di luar sana." "Katakan, agar mereka masuk ke kamar belakang, Myer! Kita dapat berbicara di sana," jawab ahli kimia itu. Kedua orang itu meninggalkan laboratorium dan menutup pintu. Keheningan menyelubungi ruangan itu, hanya suara gemeritiknya tungku. "Kalau kita masuk ke dalam," bisik Joe, "kita dapat mencuri dengar pembicaraan mereka." Frank mengangguk. "Mari kita masuk melalui jendela." Sambil memegangi ambang pintu ia menjejakkan kakinya untuk melompat. Ia mengayunkan kakinya melalui ambang jendela, lalu turun dengan perlahan. Joe mengikutinya. Mereka bergerak dengan cepat ke sisi yang lain dari laboratorium itu, melangkahi perkakas-perkakas yang aneh-aneh. Bentuk-bentuk geometris, yang terbuat dari kayu, besi atau batu. "Itu maksudnya untuk memberikan tenaga gaib," bisik Joe, sambil menunjuk ke arah sejumlah bentuk-bentuk bulatan dan piramid. "Sim salabim!" Frank tertawa tertahan. Di tengah ruangan, mereka merasakan hawa panas yang sangat dari tungku dan logam cair, yang meleleh pada sebuah bola batu sebesar kelereng! Frank kehilangan keseimbangan, dan terlempar ke arah periuk berisi timah hitam cair! Chapter 11 SEBUAH PUSAKA Joe meraih ke arah kakaknya penuh ketakutan. Jari-jarinya sempat menangkap ujung jaketnya, lalu ditariknya kuat-kuat ke belakang. "Engkau tak apa-apa?" ia bertanya khawatir. "Selamat," jawab kakaknya menenteramkan. "Asal aku tak disuruh mandi di periuk itu saja! Terimakasih, Joe!" Gemetar karena hampir terkena musibah, Frank berbalik dari tungku menuju ke pintu. Mereka mendengar suara-suara yang lirih, tetapi tak dapat menangkap yang dipercakapkan. Dengan hati-hati Frank melepaskan gerendel pintu, lalu didorongnya sedikit membentuk celah. Apa yang dapat dilihatnya hanya sebuah tong berisi ampas bijih, sisa timah yang terbakar. Tetapi kini mereka dapat mendengar lebih nyata. "Professor Viga. Apakah anda telah berhasil mengubah timah hitam menjadi emas?" tanya Nitron. "Belum," Viga mengaku. "Tetapi aku yakin, aku telah menemukan rumusnya! Tinggal beberapa percobaan lagi, dan aku akan melakukan penemuan yang terbesar untuk abad ini!" "Orang sinting!" bisik Joe. Nitron berjalan ke tong berisi ampas bijih, hingga Frank dan Joe dapat melihat dia. Myer juga nampak di samping dia. Sambil menunjuk ke tong, penyelundup itu bertanya: "Apakah ini timah hitam yang telah dibakar?" "Ya," jawab Viga. Dengan diam-diam Nitron mengeluarkan sepotong logam kuning dari sakunya, dan dipegangnya di belakang punggungnya. Myer menyambutnya, lalu menjatuhkannnya ke dalam tong, sambil tetap berbicara dengan profesor sinting itu. "Ia "menggarami" ampas timah hitam itu!" bisik Frank. Maksudnya melakukan akal bulus dengan meletakkan sesuatu pada tempat tertentu, kemudian berpura-pura menemukan benda tersebut. Tiba-tiba Myer berseru: "Emas!" Ia meraih ke dalam tong dan mengeluarkan gumpalan kuning yang dia jatuhkan sendiri tadi. Diangkatnya agar dapat dilihat oleh Viga. Gumpalan itu bercahaya lunak. Viga bergegas menghampiri lalu menangkapnya "Aku tentu tak melihatnya!" katanya parau. "Apa masih ada lagi yang lain? Coba lihat!" Dengan gairah ia mengais-ngais di dalam tong, melempar-lemparkan ampas bijih keluar. Kepalanya makin lama makin dalam terbenam ke dalam tong. Akhirnya berdiri tegak lagi. "Tak ada lainnya!" katanya kecewa. Kemudian ia menjadi cerah kembali. "Tetapi ini membuktikan, bahwa rumus-rumusku memang benar! Tinggal mencobanya kembali, untuk mengetahui, rumus mana yang berhasil merubah timah hitam menjadi emas. Nanti kalian dapat menjualnya di pasaran, saudara Nitron! Kita akan menjadi jutawan!" Nitron mengangguk. "Tetapi sekarang ini kita menghadapi masalah kecil," katanya. "Anda mengatakan, akan membuat emas yang cukup untuk membiayai usaha kita. Tetapi aku sendiri kehabisan modal sama sekali! Sebaiknya anda memberikan pusaka keluarga anda itu, untuk menutup kekurangan-kekuranganku. Sampai anda berhasil membuat emas itu!" Viga manggut-manggut. "Aku akan tetap pada perjanjian kita. Tak lama lagi, kita akan mempunyai emas yang kita butuhkan, dan aku akan membeli kembali pusaka keluargaku itu." Nitron mengangkat bahu. "Bagus. Aku akan meminjam uang untuk itu, untuk membayar segala rekening-rekening, sampai anda mulai berproduksi secara masal." Viga merogoh ke dalam saku jubahnya. Ia menarik sebuah kotak permata berwarna hitam. Dibukanya, menunjukkan seuntai kalung berlian yang sangat indah! Frank menyikut adiknya! "Ya itulah barang berharga yang dikatakan oleh Nitron," bisiknya. "Jadi bukan lukisan Wester!" Nitron menerima kalung itu dan mengangkatnya ke depan matanya. Berlian-berlian itu berkilau gemerlapan. "Ini milik ibuku," kata Viga. Karena itulah aku tak ingin berpisah dengannya." "Aku akan merawatnya dengan baik," kata Nitron menentramkan sambil tertawa sinis. Ia memasukkan kalung itu ke dalam kotaknya, lalu dimasukkannya pula ke dalam sakunya. Ia menjabat tangan Viga. "Kini kami harus ke Key Blanco." Terdengar suara langkah-langkah sepatu, menandakan bahwa para penyeludup itu bangkit. Frank dan Joe mundur melintasi laboratorium, saat itu tungku meledak! Lidah api menyambar-nyambar, dan katup-katupnya menyemprotkan uap berkepul-kepul. Timbal yang meleleh cair mengalir ke dalam periuk, sementara katup pengaman terlepas dengan suara mendesis tajam. Kekuatan ledakan itu menggetarkan lantai rumah. Sesaat kemudian pintu belakang pecah terbuka, menampakkan kedua pemuda itu berlatar belakang nyala api yang menyilaukan! "Frank dan Joe!" seru Nitron. "Untuk apa kalian di sini? Aku memerintahkan kalian tinggal di perahu!" Kakak beradik itu memutar tubuh, lalu lari melintas ruangan. "Mata-mata!" teriak Nitron. "Tangkap mereka!" Bersama anak buahnya, ia berlari mengejar detektif-detektif muda itu, yang tak mendapat kesempatan lagi untuk melompat keluar dari jendela. Mereka mengitari tungku, menuju ke sebuah tangga ke loteng. Joe melihat sebuah peti berisi batu-batu bulat sebesar kelereng, yang masing-masing bergambar tanda bintang mistik ilmu kimia. Ia meraup segenggam, lalu dihamburkannya ke kaki para pengejarnya. Mereka tergelincir dan terpeleset, lalu jatuh bertumpang tindih di lantai! Kakak beradik Hardy mamanjat tangga ke loteng. Dengan takut mereka melihat sekelilingnya, mencari sebuah jendela atau tingkap yang dapat digunakan untuk keluar ke atap. Tetapi mereka tak menemukan jalan sama sekali. Joe mencoba untuk merubuhkan tangga, tetapi sudah terlambat! Para penyelundup telah berdesakan naik ke loteng. "Kita terperangkap!" seru Joe. Frank menariknya dalam suatu rongga di dalam dinding, dekat dengan tangga. Ia memberi isyarat untuk diam tak bersuara. Seorang demi seorang, Myer dan para penyelundup naik ke tangga loteng. Mereka tak melihat kedua pemuda itu, dan langsung lari ke sebelah ujung loteng. Nitron datang yang terakhir. Ketika ia melangkahkan kakinya di loteng, kotak permata Viga yang menonjol dari sakunya jatuh. Tetapi ia tak mengetahuinya, dan terus ikut berlari ke ujung belakang loteng. Suara mereka hiruk-pikuk, berteriak-teriak sambil mencari-cari kedua pemuda tersebut. Frank dengan cepat meraih kotak permata, kemudian bersama Joe ia merosot turun dari tangga. Sampai di bawah, tangga itu ditariknya jatuh ke lantai! Mendengar bergedobraknya tangga jatuh, Nitron dan pengikut-pengikutnya lari bergerombol ke pinggir loteng. Mereka berteriak-teriak sangat marah, sambil mengacung-acungkan tinju ke bawah. Viga memperhatikan pengejaran itu dengan diam tak bersuara. Lalu ia bertanya: "Ada apa ini semua?" "Mereka adalah penyelundup-penyelundup!" Frank mendesis, sambil berlari keluar dari rumah. "Mereka penjahat-penjahat!" Ini kalung anda. Jangan diberikan lagi kepada mereka!" Ia mengacungkan kota permata itu kepada kakek yang hanya kebingungan! Kemudian ia berlari lagi, diikuti oleh adiknya. Viga mengikuti dari belakang. "Tunggu!" teriaknya. "Maksudmu, semua alkhemiku ini tak ada gunanya sama sekali?" "Betul," kata Frank, sambil menarik lengannya "Mari! Anda harus melaporkan ini semua kepada polisi! Gumpalan emas itu diletakkan dengan sengaja oleh Myer. Kami melihatnya sendiri. Ia hanya berpura-pura menemukannya dari dalam tong!" Viga tertegun. "Pembantuku? Ia termasuk komplotan itu?" "Betul," Frank memastikan. Ia menarik profesor itu besertanya, sementara mereka berlari cepat ke arah perahu. Celakanya, pak Viga justru menghambat mereka. Pengaduk yang ada di sakunya berat. Demikian pula ujung jubahnya harus selalu dipeganginya, agar tidak menyerimpat jalannya. Topinya yang runcing kerap pula merosot menutup matanya, sehingga sewaktu-waktu harus pula didorong ke belakang. Ketika mereka sampai di puncak bukit, pak Viga sudah tersengal-sengal kepayahan. "Tahanlah, profesor," Joe memberi semangat. "kita sudah hampir sampai." "Penyelundup-penyelundup itu tentu sudah dapat turun sekarang," kata Frank. "Aku yakin, mereka tentu sudah semakin dekat mengejar kita." Suara semak-semak yang berkerosak diterjang membuktikan, bahwa kata-kata Frank memang benar. Dengan kalut Frank dan Joe menyeret pak tua menuruni bukit. Akhirnya mereka menampak perahu, Biff, Chet dan Seetro menunggu di geladak, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Sungguh celaka. Pada saat itu juga pak Viga terserimpat jubahnya sendiri, jatuh tersungkur! Topinya lepas berguling-guling. Kedua pemuda itu terpaksa berhenti, membantu pak tua bangun berdiri. Nitron dan kawan-kawannya berlompatan keluar dari semak-semak, menghambur menyerbu! Melihat itu, Chet, Biff dan Seetro melompat turun dari perahu, melibatkan diri dalam perkelahian, maka terjadilah keroyokan yang simpang siur. Biff mendaratkan sebuah pukulan lurus, dan seorang lawan jatuh tertelentang. Sementara itu tinju Chef mengenai perut seseorang, hingga terhuyung-huyung terbungkuk-bungkuk. Frank bergumul melawan Nitron, sedangkan Joe berhasil memiting Myer. Pak Viga mula-mula berdiri terpaku. Kemudian, tanpa disadarinya, pengaduk yang berat itu sudah berada di tangannya. Ia memukul Nitron sekuat-kuatnya! Penyelundup itu pingsan. Kemudian giliran Myer. Melihat dua lawan sudah pingsan, pak tua semakin mengamuk. Pengaduk berat itu diayunkan ke kanan ke kiri, dan semua anggota komplotan itu bergelimpangan di tanah tak sadarkan diri! Keempat pemuda menyeringai melihat lawan-lawannya. "Hebat, pak Viga!" seru Frank. "Anda berhak mendapat bintang!" "Lebih baik mereka kita ikat dulu, sebelum mereka siuman kembali," kata Joe menasihati. "Gampang!" jawab Junior. Ia berlari ke perahu dan kembali membawa segulung tali dan sebilah pisau pelaut. Tali itu lalu dipotong-potongnya, dan dibagi-bagikan kepada teman-temannya. Tak lama kemudian semua penyelundup itu telah terikat erat tangan masing-masing di punggungnya. Nitron yang pertama-tama sadarkan diri. Frank dan Joe menyuruh naik ke geladak dan duduk di sana. Seorang demi seorang yang lain menyusul. "Kita bawa mereka langsung ke kantor polisi," kata Frank. Ia menghidupkan mesin, dan mengemudikan perahu itu ke tengah, ke perairan bebas. Di perjalanan menuju ke pantai, sebuah kapal patroli polisi melintas di haluan. Seorang perwira memberi perintah dengan pengeras suara, agar mereka berhenti. Frank mengangguk mengerti, lalu menghentikan perahunya. Kapal patroli mendekat ke samping, dan seorang letnan polisi melompat ke geladak perahu mereka. Melihat orang-orang yang terikat di geladak, ia bertanya: "lho! Apa yang terjadi di sini?" "Itulah Ignas Nitron dengan komplotan penyelundupnya," jawab Frank. "Kita menangkap mereka, ketika sedang memeras profesor Viga." "Apa?" tanya letnan dengan mata terbelalak. Frank lalu menceriterakan secara terperinci tentang tugas mereka. "Kalian telah bekerja dengan gemilang!" kata letnan itu pada akhirnya. "Kami sendiri telah lama berusaha menangkap penjahat-penjahat ini. Sekarang, atas jerih payah kalian, akhirnya mereka jatuh ke tangan kita juga!" Chapter 12 PETUALANGAN DI EVERGLADES Letnan itu berpaling kepada pak Viga. "Apakah anda bersedia mengatakan, apa urusan anda dalam hal ini semua, profesor?" "Saya mempercayai ilmu kimia." pak Viga mengaku. "Saya membutuhkan sebuah laboratorium, Myer membantu mendirikannya di gudang. Beberapa lama kemudian ia membawa Nitron kepada saya. Rupanya mereka pura-pura percaya, bahwa saya dapat merubah timah hitam menjadi emas. Sekarang saya sadar, bahwa saya telah mereka kelabui." "Pak letnan, ini adalah permainan yang curang." kata Frank. "Nitron dan Myer menaruh segumpal emas pada ampas timah, lalu berpura-pura menemukannya." Pak Viga menghela napas. "Aku telah bersusah payah membaca segala buku tentang kimia. Aku juga melakukan berbagai percobaan, dengan harapan, tungku itu menghasilkan emas. Semuanya itu ternyata tak berguna sama sekali!" Ia membenamkan kepalanya ke dalam kedua tangannya, dan mengeluh penuh kecewa. "O iya! Tungku itu masih menyala di laboratorium!" kata Joe memperingatkan. "Aku akan menyuruh memadamkannya," kata pak letnan. Ia lalu memerintahkan seorang bawahannya untuk pergi ke gudang. Setelah menyebutkan hak-hak para tawanan tentang hukum, ia mulai memeriksa mereka. Karena di hadapkan pada kenyataan-kenyataan, Nitron mengaku, bahwa ia telah menipu pak Viga agar menyerahkan kalung permatanya. "Bagaimana mengenai lukisan pak Wester?" tanya Frank. Nitron terkejut. "Apa yang kauketahui tentang hal itu?" ia meledak. "Kami menemukan sidik jarimu di rumah pak Wester di Bayport. Engkau bersama Morphy yang mencuri lukisan itu!" "Dengan bantuan Tom," sambung Joe. "Engkau juga mencuri dua buah tempat lilin dari emas dan kendi perak. Semua itu kausembunyikan di rumahmu di Key Blanco. Bersama-sama dengan barang-barang yang kaucuri." Nitron yang pucat bagaikan kapas, menyala dengan gugup: "Kami memang mencuri lukisan itu. Aku mengaku. Tetapi di Kota Blanco Mark Morphy melarikan diri membawa gambar itu. Aku sama sekali tidak tahu di mana gambar itu!" Anak buah Nitron yang meyakinkan pak letnan, bahwa mereka tak tahu menahu tentang lukisan itu. Mereka semua lalu digiring naik ke kapal patroli, untuk selanjutnya dibawa ke Egret Island. Pemuda-pemuda itu mengikuti dengan perahu Nitron. Mereka juga telah memberikan laporan selengkap-lengkapnya tentang peristiwa yang terjadi. "Nah, kini kami mempunyai cukup bukti mengajukan mereka ke pengadilan," kata pak letnan. "Terimakasih atas kerja keras kalian!" "Lalu bagaimana dengan Junior Seetro?" tanya Frank. "Yyyah. Ia juga anggota komplotan. Kita lihat saja nanti, apa pendapat yang berwajib. Sementara itu, kami minta agar dia jangan pergi meninggalkan daerah tempat tinggalnya. Ia harus tetap siap kalau dipanggil pengadilan sebagai saksi!" "Nah, kalau begitu aku senang sekali," kata Junior. "Aku sungguh-sungguh gembira dapat terlepas dari semua ini! Aku akan mengatakan semuanya yang kuketahui!" Pak letnan berpaling kepada kakak beradik Hardy. "Kalau kalian sampai di Kota Blanco, aku sangat berterima kasih jika kalian mau menunjukkan jalan ke rumah Nitron." "Dengan senang hati," jawab Frank. "Bagus, aku akan memberitahu mereka, bahwa kalian akan datang." Untuk perjalanan pulang, mereka menyewa sebuah perahu. Di sepanjang perjalanan mereka mernpercakapkan perihal penyelundupan-penyelundup yang baru saja mereka tangkap. Tiba-tiba Frank mendapat pikiran, "Junior, apakah ada orang lain yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan Nitron?" "Tidak secara langsung," jawab teman baru itu. "Tetapi karena sekarang kausebut-sebut, aku ingat, bahwa pernah ia berkata, menerima perintah-perintah tertulis dari seorang boss. Perintah-perintah itu ditinggalkan di suatu tempat di Everglades." "Di mana itu?" tanya Biff. "Aku tak dapat mengatakan secara tepat. Apa yang kutahu hanyalah, bahwa tempat itu ada di dekat Moss Tributary, yaitu anak sungai Moss." "Aku ingat dari sebuah peta," kata Frank,"Tempat itu letaknya di sebelah barat Pa-hay-okee Trail." Setiba di kota Blanco, mereka mengembalikan perahu sewaan. Kemudian mereka melaporkan diri di kantor polisi. Bersama dengan dua orang polisi mereka menuju ke rumah Nitron dengan sebuah truk. Mereka juga membantu mengangkat peti-peti berisi arloji Swiss itu ke dalam truk. Setelah selesai, salah seorang dari polisi itu berkata: "Kami akan mengembalikan barang-barang ini kepada pemiliknya, setelah kami tahu benar siapa yang memang berhak." Ia mengucapkan terimakasih kepada empat sekawan tersebut. Truk polisi itu berangkat kembali ke kantor polisi, sementara keempat pemuda beserta Junior kembali ke Kota Blanco. Mereka menggunakan mobil Junior. Di kota, mereka berpisah dengan Junior. "Sampai bertemu lagi, kata Joe berjabat tangan. Frank mengambil ransel-ransel mereka dari tempat bagasi. "Jangan lupa akan janjimu!" Junior tersenyum. "Doakan, besok kalau kita ketemu kembali, aku sudah bekerja di Armada Niafa!" Ia pergi, dan keempat sekawan itu berjalan kaki di sepanjang karang, menuju ke Teluk Penyelundup. Ketika mereka tiba di rumah pak Wester, pengurus rumah tangga pak Wester tak mengenali siapa mereka itu. Ia baru mengenali lagi setelah mendengar suara mereka! "Kukira kalian ini pelaut-pelaut!" ia menyambut dengan ramah. "Hanya untuk menyamar," kata Joe. "Apakah pak Wester ada di rumah?" "Tidak ada. Beliau sedang pergi ke Key West untuk beberapa hari. Tetapi beliau berpesan, agar kalian tetap tinggal di sini sampai beliau pulang. Ayo, silakan masuk!" Mereka naik ke kamar masing-masing, lalu berganti pakaian. Pakaian pelaut beserta alat-alat penyamaran, dimasukkan ke dalam ransel. Kemudian diberikan kepada pengurus rumah tangga dengan pesan agar didermakan kepada organisasi sosial. "He! Bagaimana kalau kita membuat kue serabi?" kata Chet. "Aku lapar sekali!" "Aku juga," kata yang lain serentak. "Mari ke bawah. Bahan-bahannya sudah tersedia di lemari es. Aku melihatnya kemarin malam, ketika aku mencari makanan." Di dapur, dengan seizin koki, Chet menggunakan kompor. Ia menuangkan adonan ke dalam loyang sambil bersenandung gembira. Kue-kue yang setengah matang, dilambung-lambungkan ke atas dengan gaya seorang ahli. Di udara kue itu membalik, lalu ditangkap kembali dengan alat penggorengan oleh Chet. Tak lama kemudian, piring yang ada di sebelahnya telah penuh berisi setumpuk kue serabi. Tiga temannya mengatur meja di dapur, dan menuangkan susu di gelas untuk mereka masing-masing. Chet meletakkan piring serabi itu di tengah-tengah meja. "Inilah serabi spesial ala Chet," katanya membual sambil tertawa cekikikan. Keempat pemuda itu menyerbu hidangan itu dengan selera yang besar. Selesai makan, mereka membereskan dapur, lalu berkumpul kembali di kamar Frank, untuk memperbincangkan keadaan. "Wah! Ini adalah pengalaman yang menarik," kata Biff memulai. "Tetapi kita belum berhasil menemukan lukisan itu." "Junior menyebutkan, bahwa ada seorang boss yang memberikan perintah-perintah kepada Nitron," kata Frank. "Fatso pun menyebut seorang boss ketika di pesawat. Mungkin orangnya sama." "Ia menaruh pesan-pesan kepada Nitron itu di Everglades," Joe menyambung. Itulah tujuan kita selanjutnya. " Mereka mengambil keputusan, bahwa Frank dan Joe yang akan mencari boss tersebut. Chet dan Biff tetap tinggal di rumah pak Wester. Mereka harus menunggu pulangnya pak Wester, dan harus selalu waspada kalau-kalau Morphy datang. Karena lelah oleh perjalanan dan penangkapan para penyelundup, mereka lalu masuk ke kamar masing-masing. Dengan nyenyak mereka tidur sampai pagi. *** Setelah sarapan, kakak beradik itu mempersiapkan diri untuk berangkat. "Kami akan mengatakan apa yang telah terjadi kepada pak Wester, kalau ia pulang lebih dulu dari kalian," Biff berjanji. "Sampaikan salamku kepada buaya-buaya yang ada di sana!" kata Chet menyeletuk. "Sayang, aku tak sempat berenang bersama mereka." "Mari, lebih baik kita segera berangkat." kata Frank, "Cara yang paling baik ialah naik ferry ke Flamingo di ujung selatan. Dari sana dapat dilanjutkan ke Everglades." Kakak beradik itu berjalan kaki ke Kota Blanco, dan segera naik ferry di Teluk Meksiko. Setelah sampai, mereka pergi ke Pusat Wisata Flamingo, melewati sederetan perahu-perahu kecil yang ditambatkan di dermaga. Frank membeli sebuah peta di meja penerangan. Sementara itu Joe membaca pengumuman di papan pengumuman. Disebutkan, bahwa buaya-buaya Everglades dinyatakan sebagai jenis hewan yang dikhawatirkan akan punah. Karena itu perburuan terhadap mereka tanpa ijin dinyatakan melanggar hukum. "Bagaimana kami dapat sampai di Moss Tributary?" tanya Frank kepada petugas penerangan. Petugas itu melihat pada buku petunjuk. "Ambillah bis yang melalui Lorong Bakau ke Pa-Hay-okee Trail. Di sana kalian dapat menyewa perahu dan mengikuti peta ke arah barat." "Terimakasih." Frank dan Joe pergi ke terminal, lalu naik bis. Untunglah, mereka tak perlu menunggu lama untuk berangkat. Di sepanjang Lorong Bakau, mereka melihat akar gantung yang besar-besar, membentuk busur-busur tinggi dan menancap di tanah payau. Mereka berada di tempat yang berumput tinggi-tinggi serta pohon-pohon yang rimbun, berlainan sekali dari yang terdapat di daerah utara. "Ha, Frank. Rupanya tidak terlalu jelek," kata Joe kepada kakaknya. "Barangkali kita tak perlu tenggelam di rawa-rawa!" "Nanti dulu," jawab kakaknya. "Moss Tributary terletak di daerah Everglades yang sebenarnya. Yang pasti, kita akan berbasah-basah kaki di sana!" Di Lorong Pa-hay-okee Trail, mereka menyewa sebuah perahu berlunas datar yang menggunakan motor tempel. Mereka juga menyewa sepatu karet yang tinggi sampai di lutut untuk berjalan kaki di daerah rawa-rawa. Joe memegang kemudi, sementara Frank yang menentukan jalan dengan sebuah peta. Mereka menuju ke arah barat. Tak lama kemudian mereka berada di tengah belantara, yang terdiri atas air, lumpur dan hutan bakau. Di sana sini terdapat beberapa tempat yang agak tinggi dan kering. Pada beberapa tempat, orang dapat berjalan kaki untuk beberapa ratus meter jauhnya. Tetapi di luar itu, yang nampak hanya rawa-rawa, di sana sini diseling oleh sungai-sungai kecil yang dangkal. Sungai-sungai itu sering bertemu menjadi satu, tetapi tak berapa jauh mereka berpisah lagi. Berhektar-hektar rumput liar tumbuh di lumpur, setinggi dua meter atau lebih. Burung bangau dan burung-burung lainnya beterbangan ketika mereka lewat. Di sana sini muncul kepala ikan di permukaan, dan ular-ular merayap lewat tanpa bersuara. Buaya berseliweran dengan moncongnya yang runcing hampir tak nampak. "Waduh! Ini seperti di ujung dunia saja!" Joe mengeluh. "Bagaimana kita dapat menemukan petunjuk-petunjuk di tempat begini? Hanya rawa belantara tanpa penghuni!" Untuk pertama semenjak awal penyelidikan, Frank mulai ragu-ragu. Seperti hilang harapan, ia memandang ke sana kemari, mencari-cari yang dia sendiri tidak jelas apa yang dicari. "Aku betul-betul tak mengerti!" katanya. Chapter 13 ULAR BERBISA Mereka berperahu untuk beberapa mil. Suara mesin tempel berbaur dengan kicauan burung, jeritan kucing hutan, serta desah hutan bakau yang diterjang angin. "Ya ampun! Kita sungguh-sungguh terpencil! Jauh dari mana-mana," Frank mulai mengeluh pula. Suatu bentangan air yang luas menarik perhatian Joe. "Rupanya ada sebuah danau di depan itu," katanya. "Kita tepat menuju ke arahnya." Frank mencocokkan tempat itu dengan petanya. "Itu disebut Telaga Moss. Ada lima batang sungai yang bermuara di sana, membentuk sebuah danau yang terbesar di daerah ini." Mereka meluncur masuk ke danau dangkal itu, yang dipagari oleh dinding rumput air yang lebat. "Sungai Moss ialah yang nomor empat itu," kata Frank. Joe memutar haluan dan mengarahkan perahu ke arah yang ditunjuk oleh kakaknya. "Berapa jauh lagi sampai di Moss Tributary?" "Masih beberapa mil lagi," jawab Frank. "Hanya ada satu-satunya anak sungai dari sungai Moss ini." Ketika mereka sampai di Moss Tributary, Joe berkata: "Nah kita sudah sampai! Tetapi apa yang kita cari, sampai kini kita belum mengerti!" "Kaukira, tentunya sebuah bangunan. Bukankah begitu? Tetapi pasanglah mata baik-baik, kalau-kalau melihat sesuatu. Kita memang tak tahu apa yang akan kita hadapi." Mereka memasuki daerah terpencil. Pada satu sisi hanya rawa-rawa, dan pada sisi lainnya tanah kering yang rapat dengan tumbuh-tumbuhan yang saling lilit-melilit. Di mana-mana terdapat pohon bakau. Tiba-tiba Joe melihat kepulan asap hitam, meliuk-liuk ke udara. Dengan cepat ia memastikan mesin tempelnya, dan membiarkan perahunya hingga berhenti sendiri. "Ada apa? tanya Frank Joe menunjuk ke arah asap. "Ada orang yang telah mendahului kita." "Mari kita lihat," kata Frank dengan tenang. Mereka mengambil dayung, dan dengan diam-diam mendayung ke arah sekelompok rumput yang tinggi. Mereka menyibakkannya, dan melihat sisa-sisa api unggun. Kayu yang terbakar masih berasap. "Tak ada seorang pun," kata Joe. "Mari kita periksa. Barangkali ada petunjuk." "Hati-hati!" kakaknya memperingatkan. Mereka mendayung ke pinggir, lalu naik ke darat untuk menyelidiki. Di sekitar api unggun nampak jejak-jejak kaki. "Ada empat pasang kaki yang berlainan," kata Frank, setelah memeriksa jejak itu dengan teliti. "Aku heran, ke mana mereka itu!" "Api masih menyala. Jadi mereka baru beberapa menit meninggalkan tempat ini," kata Joe. "Kalau mereka ke hilir, tentu bertemu dengan kita. Jadi tentunya mereka pergi ke hulu." Frank mengangguk, "Kuharap kita dapat mengikuti jejak mereka. Tetapi waspadalah! Kalau mereka mendengar kita, mungkin kita akan dijebak!" "Benar! mari kita kayuh dengan diam-diam," kata adiknya. Setelah menginjak-injak api unggun hingga tak berapi lagi, mereka kembali ke perahu. Mereka melanjutkan menyusuri sungai Moss Tributary. Setengah jam kemudian, mereka mendengar suara- suara di depan. "Aku sangsi, apakah mereka itu polisi hutan," kata Joe. Frank menggeleng. "Tidak mungkin!" Polisi tak mungkin meninggalkan api yang masih berasap. Sangat besar bahayanya bisa menjadi kebakaran hutan." Mereka menuju ke muara sebuah anak sungai Moss Tributary, lalu menambatkan perahu mereka. Dengan berlindung di antara pohon-pohonan, mereka menuju ke arah datangnya suara. Akhirnya mereka melihat sebuah perahu. Ada empat orang di dalamnya. Semuanya memegang sepucuk senapan yang berat. "Aku tak mengenali mereka," bisik Frank. "Engkau?" "Belum pernah melihat," jawab adiknya. "Aku heran, apa yang mereka lakukan?" "Kita harus mendekat, agar dapat melihat lebih jelas." Tanpa bersuara mereka menyelinap di antara pohon-pohon bakau, hingga menemukan tempat bersembunyi di antara akar-akar gantung yang rapat. Mereka dapat melihat dengan jelas, dan dapat pula mendengar dengan lebih nyata. Salah seorang menepuk-nepuk senapannya sambil membual: "Kita akan mendapat buaya yang banyak kali ini." "Asal polisi hutan tidak menganggu saja!" kata yang lain. "Kita bereskan mereka, kalau berani menganggu!" kata orang ketiga. "Kita cukup mempunyai peluru untuk berperang!" Jari-jarinya mengetuk-ngetuk sebuah peti bertuliskan MESIU. Orang-orang itu tertawa terbahak-bahak. Mereka mulai membual tentang berburu buaya. "Tidak peduli melanggar hukum, asal kita mendapat uang yang banyak!" kata seseorang. "Di luar negeri pasarannya bagus untuk kulit buaya. Sabuk, tas tangan, dompet. Yah, kalian tahu sendiri." Joe teringat akan pengumuman yang dibacanya di Pusat Wisata Flamingo. Pengumuman itu menyebutkan, bahwa buaya Everglades sudah terancam punah. Karena itu merupakan hewan yang dilindungi. Ia menyikut kakaknya dan berbisik: "Pemburu gelap! Kita tidak dapat membiarkan mereka. Tetapi mereka terlalu banyak bagi kita. Apa yang harus kita lakukan?" "Bersembunyi," saran kakaknya. "Hanya itu yang dapat kita lakukan sekarang." Tiba-tiba terdengar langkah kaki, mendekat dari arah hulu. Mereka melompat turun dari perahu, lalu bertiarap. "Jangan-jangan polisi hutan!" kata salah seorang dengan berbisik parau. "Mari kita sambut dengan hangat!" Keempat-empatnya mempersiapkan senapan, membidik ke arah suara langkah kaki. Tak lama kemudian semak-semak tersibak, dan dua orang nampak, masing-masing membawa senapan. Yang seorang jangkung kekar, yang lain lebih pendek tetapi bertubuh berat. "Tom dan Fatso," Joe mendesis. Dengan heran Frank dan Joe mengawasi kedua orang itu mendatangi perahu. Keempat orang yang bersembunyi menurunkan senapan mereka, lalu menyambut kedua pendatang itu dengan ramah. "Kita akan mendapat banyak buaya; atau namaku bukan Tom Lami lagi!" kata si jangkung. "Bagaimana dengan polisi hutan?" salah seorang bertanya. "Mereka tak akan dapat menangkap kita," kata Fatso. "Kami melihat mereka berpatroli di kubangan buaya lalu berangkat lagi. Mereka tak tahu kalau kita awasi." "Kawanan buaya paling besar yang pernah kulihat", kata Tom selanjutnya. "kita mulai berburu besok pagi." Tiba-tiba di udara terdengar suara dahsyat. Suara yang memekakkan telinga, menggema di seluruh belantara. Para pemburu menghambur berlarian, mencari perlindungan di antara akar-akar bakau, agak jauh dari tempat persembunyian Frank dan Joe. Sebuah helikopter menderu di udara menuju ke arah mereka. Pada sisi tubuhnya nampak tanda-tanda Polisi Suaka Margasatwa Everglades. "Kalau saja kita bisa memberitahu pilotnya!" Joe menggerutu. "Dia tentu dapat meminta patroli agar datang kemari, dan menangkap penjahat-penjahat itu." "Barangkali ia dapat melihat perahu mereka." kata Frank. "Aku justru sangsi, apakah ia dapat melihat perahu kita. Kita telah menyembunyikannya dengan baik!" Dengan tegang, kedua pemuda itu mengawasi heli yang semakin mendekat, lalu berputar-putar di atas. Pilotnya melihat ke bawah, dan berkata sesuatu kepada temannya. Pesawat menjauh, beberapa menit kemudian kembali lagi. "Apakah ia kembali lagi, jika tak melihat perahu itu?" bisik Joe. "Barangkali mereka sedang melapor ke markas dengan radio," kata Frank menerka-nerka. Tetapi mereka melihat pilot itu menggelengkan kepala. Sekali lagi heli itu memutar, lalu pergi. Deru mesinnya semakin menjauh. "Mereka tak melihat perahu itu." kata Frank kecewa. "Kukira terlalu dalam di bawah pohon-pohonan." "Jadi, kita sendirilah yang harus menghadapi pemburu-pemburu gelap itu!" kata Joe. "Dua lawan enam bukan imbangan yang baik. Dalam keadaan begini, kita memerlukan keajaiban yang membantu pihak kita." "Tetapi aku berpendapat, lebih baik menunda dulu mencari si Bosa sebelum kita menyelamatkan buaya-buaya itu," Joe mengambil kesimpulan. Pemburu-pemburu itu muncul dari persembunyian mereka, tersenyum-senyum penuh rasa kemenangan. "Polisi itu tak melihat kita!" seru Fatso. "Kita sudah aman!" "Betul," Tom Lami mengiakan. "Nah, kita mulai saja berburu! Tak perlu lagi membuang-buang waktu sampai besok pagi. " Mereka menuju ke perahu dan Tom Lami melepaskan tali tambatan. Frank dan Joe berdiri, memandangi mereka. Tepat pada waktu itu, Frank merasa ada sesuatu yang bergerak menggeser di sepatunya. Ia menengok ke bawah, lalu berdiam diri kaku ketakutan! Seekor ular mendongakkan kepalanya, menatap dia dengan rahang terbuka lebar-lebar, siap untuk memagut! Chapter 14 PERKEMAHAN PEMBURU GELAP Frank berdiri terpaku sejenak. Kemudian ia menendangkan kakinya sekuat-kuatnya tepat pada waktunya, untuk menghindarkan pagutan ular. Ular itu terpental tinggal di udara, lalu jatuh berdebum di dekat perahu pemburu. Suara itu menyebabkan para pemburu membalikkan tubuh. "Polisi hutan! Fatso mendesis. "Tembak saja mereka!" Enam pucuk senapan terarah ke tempat jatuhnya ular. Ular itu sendiri, takut menghadapi sebegitu banyak orang, lalu menggeleser pergi, menghilang di bawah semak-semak. "Hanya seekor ular," kata Lami sambil menurunkan senapannya. "Mari kita berangkat. Kita akan mendirikan kemah di tikungan besar di depan sana. Itu sudah dekat dengan kubangan buaya." Perahu meninggalkan tepian, meluncur ke arah Moss Tributary. Kakak beradik yang masih gemetar terlepas dari bahaya ular, keluar dari tempat persembunyian mereka. Mereka memandangi perahu itu hingga tak nampak lagi. "Untung, mereka tak melihat kita!" Joe menggagap. Frank mengangguk. "Kita harus membayangi mereka. Sayang sekali kita tak mempunyai bantuan. Kalau Chet dan Biff ada di sini saja!" "Kita hubungi saja polisi dengan radio kita," Joe mengusulkan. "Barangkali mereka dapat datang kemari pada waktunya untuk dapat membantu kita." Mereka kembali ke perahu mereka. Joe menghubungi polisi dengan radionya di Markas Polisi Suaka Margasatwa. Seorang sersan menyambutnya. "Ada pemburu gelap di Moss Tributary," Joe melapor. "harap lekas mengirim bantuan!" "Kapal patroli segera berangkat," sersan itu berjanji. Ketika Joe mematikan radionya, Frank menunjuk suatu tempat di peta. "Di sini Moss Tributary membelok ke barat, kemudian membelok lagi kembali ke timur. Belokan itulah tentu, yang dimaksudkan oleh Lami tadi. Kita dapat mencegat mereka di sana!" "Akur!" Mereka mendorong perahu ke tengah, dan kembali Joe yang memegang kemudi. Setelah kira-kira lima mil, Frank memberi isyarat kepada adiknya agar mesin dimatikan. "Belokan besar itu mulai di sini," katanya setengah berbisik. "kita harus menggunakan dayung." Mereka mendayung ke hulu, hingga melihat perahu pemburu-pemburu itu ditambatkan di tepian. Dengan diam-diam mereka juga menambatkan perahu mereka di bawah dahan-dahan bakau, yang bergantungan rendah di atas air. Kemudian mereka menyelinap ke semak-semak. Suara percakapan para pemburu mereka gunakan sebagai penunjuk arah. Setelah dekat, mereka menyuruk di bawah akar-akar bakau, bersembunyi. Para pemburu nampak sedang duduk-duduk di sekitar api unggun, memasak hamburger pada panggangan. Baunya membuat hidung Joe berkembang-kempis. "Sayang sekali, kita tak dapat menemani mereka," bisik Joe. "Misalnya sebagai pencinta alam. Barangkali saja mereka mau menyuguhkan beberapa potong hamburger!" "Kalau memang begitu, aku akan minta saus tomat untuk bagianku!" kakaknya menyambung banyolan Joe. Tetapi segera pula ia menjadi bersungguh-sungguh lagi. "Kita harus puas dengan buah-buahan hutan," sambungnya lagi. "Mari kita cari." Dengan diam-diam mereka mundur di antara pohon-pohonan. Setelah merasa pasti, bahwa para pemburu tak lagi dapat mendengar mereka, mereka lalu memetik buah-buahan hutan untuk sarapan. Pada waktu mereka merangkak-rangkak kembali ke persembunyian, malam mulai turun. Api unggun itu membuat bayangan-bayangan yang mengerikan di sekitarnya, dan lidah-lidah api dipantulkan oleh permukaan air sungai Moss Tributary. Para pemburu juga telah selesai makan, dan kini sedang membersihkan senapan-senapan mereka. "Kalau sudah selesai menembak, kulit-kulit buaya itu kita bawa kemari. Kita tumpuk saja di dalam perahu. Kukira dapat memuat beberapa lusin," kata Tom. "Akur," kata Fatso. "Peti mesiu itu menjamin persediaan peluru yang kita butuhkan." Frank menyikut adiknya. "Kita dapat merusakkan rencana mereka, jika dapat mencuri peti itu," bisiknya. Joe balas membisik: "Jika mereka tidur nanti, barangkali kita mendapat kesempatan." Fatso berdiri. "Aku akan mencari kayu api," katanya. Ia berjalan tepat ke arah persembunyian kedua pemuda! Kakak beradik itu membenamkan lebih dalam lagi ke bawah semak-semak di bawah akar-akar bakau. Hati mereka cemas, memikirkan bagaimana tindakan mereka jika kepergok. Tetapi, pada saat terakhir, orang itu balik kembali lalu menuju ke arah lain. Rupanya ia melihat seonggok ranting-ranting kering di bawah sebatang pohon. Setelah dapat mengumpulkan setumpuk, ia kembali ke api, dan menjatuhkan tumpukan ranting itu ke dalam api unggun. Api segera membesar terang di kegelapan malam. "Aku heran, di mana gerangan kedua anak Hardy itu," kata Tom Lami tiba-tiba. Dengan terkejut kedua pemuda itu memasang telinga tajam-tajam untuk mendengar jawaban. Fatso melempar lagi sebatang kayu ke dalam api "Kita tak melihat mereka sejak di hotel Bayport itu. Mereka tentu sudah takut, lalu melepaskan diri dari perkara itu." Lami nampak ragu-ragu. "Kalau begitu, siapa itu dua pemuda yang menyerang kita di sebuah gang dari kota Homestead itu? Waktu itu terlalu gelap untuk melihat. Tetapi mereka itu mungkin sekali Frank dan Joe!" "Barangkali. Tetapi mengapa kita tak melihat mereka di pesawat?" Fatso mendebat. "Kedua pemuda yang membuntuti kita itu tentu anak-anak yang suka mencari gara-gara saja. Kukira, mereka juga hanya menceloteh sekenanya saja, ketika menyebutkan pemburu-pemburu gelap." "Bagaimana pun, aku tetap akan merasa lebih aman, jika kita dapat menangkap mereka," kata Lami. "Begitu pula pikiranku," Fatso menyetujui. "Tetapi mereka dapat melarikan diri dengan sangat cepat!" "Mana itu, Nitron dan Morphy," tanya seseorang. "Nitron masih saja berusaha untuk keluar dari Key Blanco," jawab Tom. "Mengenai Morphy, aku tak tahu di mana dia. Ia telah pergi dengan lukisan itu, ketika ia harus menghadap boss." "Aku sebetulnya ingin tahu, siapa boss kita itu," kata Fatso. Tom mengangkat bahu. "Tak seorang pun yang tahu. Ia hanya selalu meninggalkan perintah tertulis di sebuah rumah batu di dekat-dekat sini. Begitulah aku dan Nitron menerima perintah. Tetapi kami belum pernah berjumpa dengan dia." Frank dan Joe mendengarkan dengan menahan napas. Rupa-rupanya baik para penyelundup maupun para pemburu mempunyai boss yang sama. Tetapi para pemburu itu belum tahu, bahwa Nitron beserta anak buahnya telah ditahan di penjara Egret Island. Kini sebagai langkah berikut bagi kedua detektif muda itu ialah menemukan rumah batu yang disebutkan Tom Lami. "Mari kita tidur!" kata salah seorang. "Kita menghadapi hari yang berat besok!" "Betul!" kata seorang lain. "Aku juga sangat lelah." Gerombolan itu merebahkan diri di tanah, dan bersiap-siap untuk tidur di sekeliling api unggun. Lami menyuruh tiga orang berganti-ganti menjaga. Orang yang mendapat giliran pertama, duduk bersandar pada sebatang pohon, sambil memegangi senapannya melintang di kedua lututnya. Tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi. Frank dan Joe berbisik-bisik, merundingkan apa yang akan mereka lakukan. "Kita lepaskan saja perahu mereka, biar hanyut ke hilir," usul Joe. Frank menggeleng. "Nanti hanya akan terdampar di lumpur. Mudah mereka temukan kembali. Lebih baik kita buang peti mesiu itu ke dalam sungai. Tetapi hal itu tidak mungkin, selama penjaga bersenapan itu masih bangun." Suara gemerisik di daun-daunan terdengar. Penjaga itu bangkit hendak memeriksanya. Tiba-tiba lengkingan mengerikan dari cabang-cabang, dan penjaga terkejut hingga senapannya terlepas dari tangannya! Seekor kucing hutan melompat turun ke tanah, menjerit lagi, lalu lari entah ke mana. Sambil menggerutu memarahi diri sendiri, penjaga itu memungut senapannya. Ia kembali ke tempatnya semula. Ia menguap, dan sejenak kemudian mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya ia tertidur. Kakak beradik itu mendengar ia mendengkur. Selain itu, suara lain tak terdengar di perkemahan. "Sekarang kesempatan kita!" bisik Frank. Dengan cepat mereka keluar dari persembunyian. Tetesan-tetesan hujan mulai terasa turun dari sela-sela daun. Di kejauhan suara guruh memecahkan kesunyian. "Cepat! Sebelum kita menjadi basah kujup!" desis Frank, sementara mereka merayap-rayap melalui semak-semak. Mereka memutar mengitari perkemahan menuju ke perahu. Mereka lewat hanya beberapa langkah di samping penjaga, kemudian naik ke perahu. Dengan hati-hati mereka merangkak ke buritan, di mana peti itu diletakkan. Masing-masing memegang satu sisi dari peti yang berat itu, lalu mengangkatnya lewat pinggir perahu. Dengan perlahan-lahan peti itu diturunkan ke dalam air. Mereka tersenyum lega, ketika peti itu menghilang ke dasar sungai. Chapter 25 BADAI Tiba-tiba kilat menyambar di udara,menerangi perkemahan. Di dalam cahayanya, kakak dan adik itu melihat bahwa lumpur sungai telah menyelimuti peti mesiu itu seluruhnya. "Nah! Sudah lenyap untuk selamanya," kata Frank penuh rasa kemenangan. "Mari kita kembali." Sambil mengendap-ngendap agar jangan ketahuan sekiranya ada yang terbangun oleh suara guruh, mereka keluar dari perahu. "Aku melihat sebuah sarang buaya tadi," bisik Joe. "Hampir seperti sebuah gua kecil. Kita dapat berlindung di sana." "Kalau ada buayanya?" bisik Frank kembali. "Semoga saja tidak ada. Mungkin mereka telah keluar melihat rombongan itu datang kemari," kata Joe. Ia menunjukkan jalan ke sebuah tempat di tepi sungai. Di sana kadal-kadal raksasa itu telah membuat sebuah gua kecil, dengan mengeluarkan tanahnya yang lunak dari tebing sungai. Frank mengeluarkan senter sakunya, menunduk, lalu menyinarkan senternya ke dalam gua. Kosong! Tak ada tanda-tanda telah dihuni buaya. Dengan hati lega, mereka merangkak ke dalamnya, yang hanya pas cukup bagi berdua. Terlindung dari badai, mereka mengawasi hujan yang turun dengan lebatnya. Angin yang kencang mulai menderu-deru menerjang hutan bakau, guntur dan halilintar berkilat-kilat di sela-sela daun-daunan. Tiba-tiba mereka mendengar suara langkah-langkah kaki disertai maki-makian marah di atas mereka. Para pemburu juga sedang mencari tempat berlindung! "Dekat benar, mereka!" bisik Frank. "kuharap saja mereka tak melihat kita." "Mudah-mudahan saja," jawab adiknya kawatir. Badai itu baru mulai mereda, ketika fajar hampir menyingsing. Mereka mendengar para pemburu itu pergi. Setelah itu, mereka merangkak keluar dari gua, menyelinap ke arah perkemahan. Mereka melihat, bahwa perahu itu telah lenyap tak nampak. Terdengar suara Tom berteriak: "Badai itu telah merenggut tali perahu lepas dari pohon!" Fatso melindungi kedua matanya, memandang jauh ke hilir. "Ia terdampar di lumpur!" ia berseru. "Itu, seratus meter dari sini, dekat tepian!" Ia memerintahkan dua orang untuk mengambil perahu itu. Mereka berhasil mengembalikannya, lalu ditambatkan pada pohon yang semula. Gerombolan itu berdiri di tepian, melihat dengan marah ke tempat yang kosong di buritan. "Peti itu jatuh ketika perahu diterjang badai. Jika kita dapat menemukannya, kita masih dapat menyelamatkan peluru-pelurunya. Peti itu kedap air!" Ia memerintahkan untuk mencarinya dengan segera, di sepanjang sungai antara perkemahan dan tempat diketemukannya perahu tersebut. Tetapi, pemburu-pemburu itu kembali tanpa hasil. "Tentu tenggelam di lumpur!" kata Fatso. "Kita tak mungkin menemukannya kembali. Lalu bagaimana sekarang? Tak jadi berburu?" Lami menggelengkan kepalanya. "Senapan kita masih berisi semuanya. Dengan itu kita masih dapat menembak beberapa ekor. Mari! Kita berangkat ke kubangan!" Mereka memanggul senapan, lalu pergi melalui hutan bakau, beriringan. Tom Lami yang memimpin di depan. "Aku akan mengikuti mereka," bisik Joe kepada kakaknya. "Engkau tinggal di sini. Usahakanlah menemukan di mana polisi hutan itu kini berada." "Oke! Mereka barangkali juga tahu, di mana kubangan buaya itu. Kuharap saja, mereka cukup jumlahnya untuk membuyarkan perburuan ini!" Joe bergerak di rimbunan bakau ke arah perginya para pemburu. Sementara itu Frank kembali ke perahu mereka sendiri. Ia mengangkat mikrofon, lalu memanggil markas Polisi Suaka Margasatwa. "Sudah ada laporan dari kapal patroli?" ia bertanya. "Mereka sudah dekat di daerah anda," jawab sersan jaga. "Mereka baru saja melaporkan diri." "Apakah mereka tahu di mana kubangan buaya itu?" "Tentu! Tak jauh dari belokan besar sungai Moss Tributary, bukan? Setiap polisi hutan tahu tempat itu." "Bagus! Di sanalah para pemburu gelap itu!" kata Frank. "Saya mendengar mereka mengatakannya." "Oke! Saya akan memberitahu patroli itu sekarang juga!" Sersan itu memutuskan radionya. Frank lalu berpikir, apa yang akan dikerjakannya sementara itu. Ia mengambil keputusan, agar para pemburu itu jangan sampai lolos dari tangan polisi. Ia kembali ke perkemahan, lalu mengambil sebuah cangkir kaleng. Ia menyendok air dari sungai, lalu dimasukkan ke dalam tangki bensin perahu para pemburu! "Nah! Perahu mereka ini tak dapat digunakan lagi!" katanya pada diri sendiri. Kemudian ia memandang ke hilir. Barangkali saja kapal patroli itu kelihatan. Matanya menyapu ke sekeliling, dan pandangannya jatuh di gua buaya tempat mereka berlindung semalam. Seekor buaya besar menatap dia dari dalam gua itu! Frank gemetar. "Untung, tadi malam ia tak jadi teman di kamar tidur kita!" pikirnya. Pada saat itu pula terdengar suara mesin perahu. Sebuah perahu kecil berwarna biru bermotor tempel tampak mendekat. Nampaknya bukan polisi hutan, karena itu Frank lalu menyembunyikan diri ke semak-semak. Perahu itu berhenti di belakang perahu para pemburu. Frank segera mengenali orang yang memegang kemudi. Mark Morphy! "Butch, perahu itu milik Tom Lami," kata Morphy kepada temannya. "Ia bersama yang lain-lain tentu ada di dekat-dekat sini. Kita tunggu saja mereka." Ia turun ke tepi, diikuti oleh seorang yang masih muda bercambang coklat. Keduanya duduk di bawah sebatang pohon bakau. Frank berpikir, untuk mengawasi mereka. "Kuharap saja patroli itu segera datang, dan menangkap mereka ini!" "Aku merasa khawatir pada anak-anak Hardy itu," kata Morphy memecah kesunyian. "Aku seharusnya tak meninggalkan foto mereka di rumah Raymond Wester. Itu suatu siasat yang tolol. Tetapi bagaimana aku bisa tahu, bahwa Wester malah menyewa mereka! Bukan minta kepada polisi untuk menangkapnya!" "Memang," Butch mengiakan. "Tetapi mengapa engkau khawatir? mereka tidak ada di sini, bukan?" "Memang tidak. Tetapi aku yakin, bahwa mereka ada di Key Blanco tentu bukan hanya untuk bersantai-santai!" "Mereka memang sedang mencari potret Simon Bolivar," kata Butch. "Sebenarnya, di mana sih gambar itu?" "Aku tak tahu. Lami dan Nitron membantu aku sewaktu mencurinya. Tetapi aku telah memberikannya kepada boss." Frank berharap sungguh-sungguh, bahwa Morphy akan menyebutkan nama dari boss mereka. Tetapi ternyata, bekas sekertaris pak Wester itu lalu berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. "O, ya. Aku belum mengatakan kepadamu," katanya, "bahwa kakak beradik Hardy itu telah mengobrak-abrik rombongan penyelundup Nitron!" "Apa?" Butch terkejut sekali. "Aku baru saja mendengar sebelum berangkat tadi. Nitron bersama anak buahnya telah tertangkap di Egret Island." "Bagaimana itu kejadiannya?" "Anak-anak muda itu menyelundup ke dalam rombongan itu, berpura-pura menjadi pelaut. Kemudian mereka memberitahu polisi untuk menangkap mereka." "Tak heran, bahwa engkau selalu nampak khawatir" kata Butch. "Aku pun menjadi khawatir. Barangkali mereka bahkan membayangi kita, sekarang ini!" "Aku tak yakin, bahwa mereka telah mengetahui tentang masalah perburuan gelap ini. Tetapi boss sangat ingin mengadakan pertemuan dengan orang-orang kita di rumah batu. Letaknya tak begitu jauh agak ke utara dari sini. Ia ingin, sejak sekarang hendak melakukan kerjasama atas dasar perorangan. Yaitu untuk menghindari jangan sampai organisasi kita kemasukan orang luar. Juga, ia ingin sekali membuat perhitungan dengan anak-anak Hardy, sehingga mereka tak akan dapat mengganggu kita lagi." "Itu bagus. Aku juga tak sabar lagi untuk menyingkirkan mereka." "Apa lagi aku!" Kedua orang itu terdiam. Akhirnya Morphy melihat pada arlojinya. "Kita tak tahu, kapan Tom dan rombongannya akan kembali. Aku tak dapat menunggu lebih lama lagi. Harus segera menemui boss kita." Pikiran Frank bekerja keras! Ia ingin mengikuti Morphy sampai ke markas komplotan itu. Tetapi bagaimana dengan Joe? Ia lalu ambil keputusan, akan meninggalkan pesan kepada adiknya. Ia bergegas ke perahunya, mengambil sebuah buku catatan kecil dari laci, lalu menulis: "Joe, ikuti jalan setapak hingga ujungnya di utara. Boss ada di sana!" pesan itu diletakkan di haluan, ditindih dengan pendayung agar tak terbang terbawa angin. Setelah itu ia kembali ke tempat dua orang tadi. Sementara itu Butch masuk ke perahu birunya. Morphy telah melewati api unggun, dan berjalan ke arah utara. Frank memutar menjauhi perkemahan agar jangan terlihat oleh Butch. Ia berusaha meninggalkan petunjuk-petunjuk yang mudah terlihat oleh Joe. Yaitu dengan ranting-ranting yang dipatahkan, sambil terus mengikuti Morphy melalui hutan bakau. Chapter 16 RAHANG-RAHANG RAKSASA Sementara itu, Joe membayangi para pemburu gelap. Perjalanan melalui hutan bakau itu menjadi berat, karena sangat becek akibat hujan besar semalam. Tanah yang berserakan dengan ranting-ranting itu sangat licin. Joe berjuang keras agar jangan terpeleset. Ia merasa sangat beruntung bahwa ia memakai sepatu boot yang berat. Setelah satu jam perjalanan, gerombolan itu mendengar suara meraung-raung di depan. Lami memerintahkan orang-orangnya agar berhenti. "Siapkan senapan kalian!" ia memerintahkan. Suara tangan beradu dengan logam mengingatkan Joe, bahwa mereka sedang mempersiapkan diri untuk beraksi. Kemudian Lami memerintahkan untuk segera bergerak kembali. Joe mengikuti mereka dari dekat. Suara meraung itu semakin keras, ketika mereka menuruni bukit kecil di tepi hutan bakau. Para pemburu itu sedang memusatkan perhatian mereka dari bawah pohon-pohon, Joe merasa aman untuk menyelinap semakin dekat. Ia ingin tahu, apa yang sedang mereka awasi itu. Tanah di depannya landai menurun ke suatu kubangan, yang garis tengahnya kira-kira seratus meter. Berlusin-lusin ekor buaya sedang berjemur diri di tepian. Beberapa ekor lagi meluncur tenang-tenang di air sambil menangkap ikan. Buaya-buaya itu menggeram-geram dengan suara keras. Suara itulah yang terdengar meraung-raung dari kejauhan. Lami berkata kepada anak buahnya. "Masing-masing memusatkan diri pada seekor! Bidiklah baik-baik. Jangan membuang-buang peluru!" Mereka mengangkat senapan mereka dan bersiap-siap untuk menembak. Joe berpikir dengan cepat. Ia mengambil sebuah batu yang cukup besar, lalu melemparkannya melalui ranting-ranting pohon bakau. Batu itu akhirnya jatuh berdebur keras di permukaan air! Dalam sekejap, buaya-buaya itu meluncur ke dalam air, berenang menuju ke tempat jatuhnya batu. Di tempat itu mereka menyelam semuanya hilang dari pandangan. Lami terkejut. "Apa itu?" ia bertanya sambil menurunkan senapannya. "Buah bakau yang jatuh, kukira," kata Fatso. "Mereka tentu mengira, ada sesuatu yang dapat di makan jatuh ke air. Kita harus menunggu lagi, sampai mereka menyembul kembali. Suara mendesir di semak-semak menarik perhatian Joe untuk menoleh. Seekor buaya raksasa sedang meluncur hendak menyerang dia! Rahangnya menganga, memperlihatkan sederetan gigi yang runcing panjang-panjang! Secara naluri Joe melompat meraih batang cabang bakau di atasnya, lalu bergantungan di udara. Buaya itu menyerbu lewat di bawahnya, kedua rahangnya beradu hendak menangkap kaki Joe. Kecepatan serbuan buaya itu tak sempat membuatnya berhenti di bawah Joe. Ia meluncur terus sampai di dekat para pemburu. Sambil berteriak-teriak ketakutan mereka itu menghambur lari mencari keselamatan! Senapan-senapan berjatuhan di tanah! Mendengar hiruk-pikuk itu, rupanya buaya itu juga menjadi takut. Ia meluncur terus, lalu membelok lebar menuju ke kubangan. Sebentar kemudian ia telah menyelam seperti yang lain-lain. Karena para pemburu itu berhamburan terpencar-pencar, Joe mendapat kesempatan untuk menghancurkan rencana mereka. Ia melompat turun, lalu berlari ke tempat senapan-senapan yang berserakan. Satu demi satu dipungutnya lalu dilemparkannya ke dalam kubangan. Kemudian ia lari kembali masuk ke dalam hutan bakau. Ia berharap, dapat mencapai tempat itu sebelum para pemburu sadar akan apa yang telah diperbuatnya. Tetapi terlambat! Ia mendengar Lami berteriak: "Itu Joe Hardy! Tangkap dia!" Fatso yang ternyata lebih dekat dari sangkaan Joe, melompat dari balik semak-semak, dan menangkap Joe pada lehernya. Joe melepaskan diri, lalu memukulnya dengan pukulan karate. Ia melewati seorang lagi sambil mengirimkan tendangan ke kakinya. Tetapi orang ketiga berhasil menangkapnya, lalu memitingnya kuat-kuat hingga keduanya jatuh ke tanah. Mereka bergulingan. Dua orang lagi datang menyerbu, lalu mengangkat Joe hingga berdiri kembali. Kedua tangannya dipegangi dan dilipatkan ke belakang punggungnya. Joe sudah menjadi tawanan! "Ha! Joe Hardy yang besar namanya!" seru Lami mengejek. "Mana kakakmu?" "Ia segera datang," jawab Joe. Fatso tertawa jahat. "Bagus! Kita akan menangkapnya pula!" "Aku sangsi akan hal itu," kata Joe. "Frank membawa sepasukan polisi suaka!" Para pemburu terbelalak. "Polisi!" Lami menukas. "Kita harus segera keluar dari sini! Cepat!" "Nanti dulu! Kita harus membereskan setan kecil ini!" seru Fatso. "Kita telah bermupakat tadi, hendak melemparkan anak-anak Hardy ke mulut buaya! Nah, sekarang lakukanlah!" Lami manggut-manggut. "Bagus! Ia boleh menggunakan salah satu senapan kita untuk memerangi binatang-binatang kesayangannya itu!" Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon Lami ini. Kemudian mereka menyeret Joe ke arah pinggir kubangan. Permukaan kubangan nampak tenang. Tak ada tanda-tanda adanya buaya. Joe menggigil. Ia membayangkan, bagaimana berlusin-lusin buaya yang berbaring di dasar, tiba-tiba bersama-sama menyerbu ketika ia menyentuh permukaan air. Ia sungguh-sungguh tersudut seperti yang belum pernah dialaminya. "Oke!" kata Lami. "Mari kita ayunkan dia dengan holopis kuntul baris!" Empat orang memegang kaki dan tangannya, lalu mengangkatnya. Mereka mengayun-ayunkan tubuh Joe ke depan dan ke belakang beberapa kali, untuk mendapatkan kecepatan. Baru saja mereka hendak melepaskan tubuh Joe agar melayang ke kubangan, tiba-tiba tiga ekor buaya dengan mendadak muncul ke permukaan, tepat di hadapan mereka! Buaya-buaya itu merayap cepat ke arah mereka, lalu bersama-sama menyerbu. Karena ketakutan, keempat orang itu melepaskan tubuh Joe hingga jatuh ke tanah. Semuanya berlari berhamburan dikejar tiga ekor buaya! Seekor buaya berhasil menangkap kaki Lami. Hanya kulit sepatunya yang tebal yang menyelamatkannya dari cedera gigi-gigi buaya! Ia menendang-nendangkan kakinya, hingga buaya itu terpaksa melepaskan gigitannya. Seekor lagi menyerang Fatso, dan berhasil menggigit kaki celananya. Celana itu sobek, dan buaya itu menelan sobekan kain celana itu dalam sekejap! Fatso terlepas, dan lari di belakang Lami. Buaya yang ketiga mencerai-beraikan rombongan itu. Moncongnya menganga-nganga memperlihatkan gigi-giginya yang mengerikan, sementara ekornya memukul-mukul ke kanan ke kiri. Pada mulanya, ketiga ekor buaya itu tak memperhatikan Joe yang tergeletak di tanah. Tetapi ketika Joe berhasil berdiri kembali, ia melihat ketiga ekor buaya itu memandanginya! Rasa dingin menggigilkan bulu kuduknya, merayap-rayap di punggungnya. Ia sadar, telah terperangkap di antara tiga binatang di depan, dan kubangan maut di belakangnya! Chapter 17 TERPERANGKAP Dengan pandangan yang menyala-nyala, ketiga ekor buaya itu mulai merayap maju. Tak ada kesempatan untuk menghindar! Tiba-tiba di semak-semak terdengar suara berkerosakan. Seekor kelinci hutan yang ketakutan, berlari-larian melompat-lompat, dikejar seekor kucing hutan. Ketika melihat ketiga ekor buaya, kelinci itu membelok lebar, lalu berlari menyusuri tepian. Sambil merayap ke depan, ketiga buaya itu hendak menyergap si kucing hutan. Tetapi kucing hutan itu dengan lincahnya melompat membalikkan tubuhnya, lalu lari ke arah dari mana ia datang. Seperti melupakan Joe, ketiga ekor buaya itu mengejar kucing masuk ke dalam hutan! Joe lari masuk ke dalam hutan bakau. Karena tak ada pilihan lain, ia mengikuti jejak para pemburu di antara akar-akar bakau. Ia hanya berharap, moga-moga para pemburu itu sudah jauh di depannya. Dengan demikian ia mudah menyelamatkan diri. Tetapi dua orang pemburu melihatnya! Mereka segera berteriak-teriak. "Cegat dia!" Lami berteriak kembali. "Tangkaplah dia! Jangan lepas lagi kali ini!" Joe terus, berlari. Ia sadar, bahwa orang-orang di luar hukum itu ada beberapa yang mengejarnya dari belakang, sedangkan beberapa orang lagi mencegatnya di depan! Ia mendengar, bahwa mereka semakin mendekat. Dengan napas tersengal-sengal, ia menoleh ke belakang, ke sekeliling, mencari tempat untuk berlindung. Sebuah bukit kecil dari setumpuk cabang, ranting, daun-daunan rumput-rumputan nampak terkilas di matanya. "Sarang buaya!" pikirnya. Dalam sedetik ia meyakinkan dirinya, bahwa anak-anak buaya, penghuni sarang tersebut telah keluar meninggalkan sarang tersebut. Ia melompat masuk ke dalam sarang itu, lalu menutupi dirinya dengan daun-daunan. Ia duduk meringkuk, dengan dagunya tertumpu pada kedua lututnya. Napasnya yang tersengal-sengal ditahannya, agar jangan sampai kedengaran orang. Para pemburu datang mendekat, lalu berhenti tak jauh dari padanya. "Di mana dia?" tanya Tom dengan suara keras. "Ia tentu sudah lolos! Entah bagaimana caranya!" kata Fatso. "Tentu ada yang telah berbuat tolol! Hingga ia dapat menyelinap lewat!" Orang-orang itu mulai saling tuduh-menuduh, salah-menyalahkan. Mereka bertengkar sambil berteriak-teriak, hingga Lami memberi isyarat agar segera menutup mulut. "Sudah! Ia sudah lenyap! Lebih baik kita kembali ke perkemahan saja." "Frank Hardy dan polisi barangkali sudah menunggu kita disana!" kata Fatso. Lami menggeleng. "Kukira anak itu hanya menggertak saja. Bagaimana pun, kalau polisi menemukan perkemahan kita, mereka tentu bergerak ke kubangan. Kita ambil saja jalan samping. Atau barangkali ada yang mempunyai cara lain untuk keluar dari sini?" Tak seorangpun berani mengajukan pendapat. Lami lalu memperingatkan orang-orangnya, agar diam jangan mengeluarkan suara. Mereka harus waspada terhadap kedua anak Hardy atau polisi. Ketika mereka berbalik hendak pergi, Tom terpeleset dan jatuh di dekat sarang buaya. Joe menahan napas. "Sedikit lebih dekat lagi, ia akan menimpa tubuhku!" pikirnya. Lami merayap bangun. "Buaya itu telah menyobek kulit sepatuku," ia mengeluh. "Aku jadi sulit berjalan. Apa lagi di tempat yang becek ini. Ayo, cepat berangkat!" Joe menghela napas lega. Ia menyingkirkan ranting-ranting penutup tubuhnya lalu mengintip keluar. Keadaan sudah aman. Ia berdiri, kemudian berjalan dengan cepat memutar, berusaha untuk mendahului para pemburu. Ia ingin sampai lebih dulu, agar dapat memberitahu kakaknya. Tetapi ia terhambat oleh lebatnya belantara. Pada beberapa tempat, ia bahkan harus merayap-rayap di antara tumbuhan merambat yang tumbuh sangat rapat. Akibatnya, ia kalah dulu sampai di tempat tujuan dari para pemburu. Ketika ia sampai, mereka sedang duduk-duduk berunding untuk tindakan selanjutnya. Joe menyelidiki daerah di sekitarnya dari tempat persembunyiannya. Tak ada tanda-tanda satu pun dari Frank atau polisi. Lami telah memberi perintah kepada dua orang, agar menyelidiki daerah di sekitar perkemahan. Dua orang itu telah kembali, dan melaporkan bahwa mereka tak melihat seorang pun. "Tetapi ada sebuah perahu kecil berwarna biru dengan motor tempel. Ditambat di belakang perahu kita," kata salah seorang. "Itu tentu perahu anak-anak Hardy!" Fatso mengira. "Periksalah! Cari sesuatu yang dapat mengungkapkan, untuk apa mereka itu datang kemari." Mereka menggeledah perahu dengan teliti. "Tak ada apa-apa di sini," teriak yang seorang. "Mereka menyembunyikan jejak mereka dengan baik," kata Fatso. "Tetapi mereka tentu akan kembali ke perahu mereka. Mari kita jebak mereka!" "Kita tak punya waktu," Lami menolak. "Polisi tentu sedang melacak kita. Kita juga harus kembali ke Persimpangan Everglades, untuk mencari senjata baru dan mesiu." "Engkau masih akan meneruskan perburuan?" tanya seseorang. "Beberapa hari lagi, kalau suasana sudah reda," jawab Lami. "Mengapa tak kita tenggelamkan saja perahu Hardy itu?" tanya Fatso. "Itu bagus!" Tom menyetujui. Ia telah ada di dalam perahu, mencoba menghidupkan mesinnya. Mesin segera menderu, batuk-batuk, lalu mati lagi. Sementara dua orang pergi ke perahu biru, Lami berusaha beberapa kali untuk menghidupkan mesin. Tetapi sia-sia. "Ada apa dengan mesin ini?" ia berteriak marah. Fatso mengambil sebatang ranting, dicabuti daun-daunnya, lalu dicelupkannya ke dalam tangki bensin. Setelah dicabut, ia memeriksanya bagian yang tercelup bensin. "Ada yang memasukkan air ke dalam tangki!" ia berteriak marah pula. "Aku yakin, ini tentu perbuatan anak-anak Hardy itu! Sebelum ia menyelinap ke kubangan buaya." "Selalu anak-anak setan itu!" kata Lami sambil menggertakkan gigi. "Kita harus membereskan mereka!" Para pemburu turun dari perahu. Lami memanggil kedua orang yang sedang menuju ke perahu biru. Dengan tegang, mereka lalu saling berdebat untuk tindakan selanjutnya. Tom mendapat akal. "Sedot saja bensin dari perahu biru itu. Dapat kita gunakan. Mungkin cukup untuk mencapai Persimpangan Everglades." Fatso meringis. "Akal bagus! Untung kalian belum jadi menenggelamkannya!" Kemudian ia mengangkat tangannya, minta agar mereka jangan bersuara. "Stt. Ada orang datang!" "Barangkali salah seorang anak Hardy!" desis Lami. "Berpencar! Kita sergap dia." Dengan segera orang-orang itu masuk ke dalam hutan, mencari kedudukan di belakang pohon-pohonan. Langkah kaki semakin mendekat, dan sesosok tubuh nampak dari balik daun-daunan. Tom bersama teman-temannya melompat menyerbu dalam sekejap. Sedetik kemudian, Lami berseru terkejut. "He! Ini Butch! Lepaskan dia! Ia teman Morphy." Pendatang baru itu meluruskan leher bajunya yang baru saja ditarik-tarik orang. "Untung! Kalian sadar sebelum memukul!" ia menggerutu. "Aku baru kembali dari mencari buah bakau. Lapar juga menanti kalian begitu lama!" "Bagaimana engkau bisa sampai kemari?" "Bersama Morphy, dengan perahu biru itu. Ia pergi untuk menemui boss. Sementara itu aku menunggu, untuk memberitahu kalian." "Ada apa sebenarnya?" tanya Lami. "Kita disuruh datang ke rumah batu. Boss ingin berbicara dengan kita." Lami menjadi heran. "Ini suatu penyimpangan! Biasanya boss selalu meninggalkan pesan tertulis. Ia tak pernah mau bertemu dengan orang. Bahkan dengan Nitron dan aku pun tidak!" "Tetapi sekarang ia mau," kata Butch. "Nitron telah jatuh oleh beberapa orang mata-mata." "Apa?' "Anak-anak Hardy itu telah merembes ke dalam gerombolannya," kata Butch. Ia lalu menceritakan apa yang telah terjadi. "Biang penyakit!" Tom meledak karena marahnya. Ia lalu mengatakan kepada Butch, tentang pertemuannya dengan Joe Hardy di kubangan buaya. "Aku ingin sekali dapat berangkat sekarang juga," katanya. "Kita tidak aman sama sekali, jika kedua anak setan itu masih saja berkeliaran di sekitar kita!" "Lebih baik kita segera pergi menemui boss," Butch menyarankan. "Aku tahu jalannya. Ikuti saja aku, dan jangan menimbulkan suara. Boss tentu akan menentukan, apa yang harus kita lakukan." Ia memimpin gerombolan itu masuk ke dalam hutan bakau. Joe bertanya-tanya di dalam hati, ke mana gerangan kakaknya. "Ia tentu tak akan meninggalkan aku tanpa meninggalkan pesan," ia berpikir. "Tetapi di mana?" Ia mendapat pikiran, lalu bergegas ke perahunya yang disembunyikan sebelum mereka mengikuti para pemburu. Benar saja! Ia melihat pesan yang ditinggalkan oleh kakaknya. Ia mengangguk sambil tersenyum. Kemudian ia memanggil polisi dengan radionya. "Sudah ada kabar dari kapal patroli?" ia bertanya kepada sersan jaga. "Mereka mendapat sedikit hambatan di jalan," jawabnya. "Aku tak pasti, kapan mereka akan tiba di sana." "Apakah mereka tahu tempat yang disebut rumah batu?" "Aku tidak yakin. Tentunya di daerah yang belum pernah dilalui patroli." "Kita meninggalkan jejak dengan ranting-ranting yang kita patahkan. Dimulai dari perkemahan para pemburu gelap ke arah utara," kata Joe. "Saya kira mereka tak akan sulit menemukan perkemahan itu. Tempatnya tepat sebelum belokan besar." "Akan kuberitahukan kepada mereka dengan segera," sersan itu berjanji. Joe mengantongi pesan kakaknya, lalu berjalan ke utara. Setelah menemukan tempat Frank mulai membayangi Morphy, ia lalu masuk ke hutan. Apakah ia akan menemukan markas besar gerombolan di ujung jalanan itu? Chapter 18 PARIT MAUT Jauh di depan Joe, Frank selalu mematah-matahkan ranting pada pohon-pohon yang agak menyolok, sebagai petunjuk jalan kemana arah perginya. Setiap kali ia mematahkan ranting yang terbawah, lalu dibengkokkan kira-kira tigapuluh senti dari pangkalnya. Kakak beradik itu memang sering menggunakan tanda-tanda demikian untuk saling berkomunikasi. Terutama jika menghadapi keadaan yang berbahaya. Frank tahu, bahwa adiknya tentu melihat tanda-tanda tersebut, dan mengikuti jejak itu ke arah yang tepat. Sambil menjaga agar tetap dapat mengawasi Morphy, ia merasa pula bahwa lingkungan daerahnya telah berubah. Rawa-rawa, lumpur dan tumbuhan tropis mulai berkurang. Tanah menjadi lebih keras, antara pohon cemara dan pohon bakau mulai berimbang. Akhirnya, sebuah bangunan terpencil nampak di depan. Bangunan itu tiga lantai tingginya, berdinding batu Florida. Keadaannya sudah mulai lapuk ditumbuhi lumut. Jendelanya banyak yang sudah pecah-pecah, tergantung miring pada engselnya. Cat pintu depan sudah mengelupas, dan tanah di sekitarnya penuh ditumbuhi semak-semak. "Rupanya rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya sejak lama," pikir Frank. Menurut perhitungannya, rumah itu dibangun pada zaman pemerintah hendak mengeringkan rawa-rawa Everglades untuk dijadikan daerah pemukiman. Tetapi akhirnya daerah itu dijadikan Suaka Margasatwa. "Orang yang membangun rumah itu kecewa," pikir Frank selanjutnya. "Ia mendirikan rumah ini, kemudian sadar bahwa letaknya terlalu terpencil untuk tempat tinggal. Yang jelas, ia telah membuatkan tempat yang bagus untuk si boss. Sungguh tempat pertemuan yang luar biasa bagi para penjahat!" Semak-semak di halaman itu bekas diinjak-injak orang, hingga merupakan jalan setapak ke rumah. Rupa-rupanya ada orang yang telah datang lebih dulu. Frank bersembunyi di semak-semak yang tinggi, dan membayangi Morphy sambil merangkak-rangkak gaya harimau merunduk mangsanya. Kemudian ia tiba pada sebuah parit yang mengelilingi rumah tersebut. Parit itu dalamnya sekitar tiga meter. Ia mengintip ke dalam parit, dan napasnya tertahan! Air yang dangkal di dalam parit itu, penuh dengan buaya! Ia menoleh, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh Morphy. Bekas sekertaris itu mencari-cari sesuatu di dalam semak-semak, lalu mengeluarkan sebilah papan berukuran limabelas senti lebar kali lima senti tebal. Ia meletakkan papan itu melintang di parit, hingga merupakan jembatan yang aman terhadap buaya. Pada sisi parit yang lain terdapat sebuah pintu yang dapat dinaik-turunkan, untuk menjaga agar buaya-buaya itu tetap berada di dalam parit. Jika pintu itu dinaikkan, maka buaya-buaya itu dapat keluar dari parit dan berkeliaran di halaman sekeliling rumah. Morphy meletakkan sebelah kaki pada papan, untuk mencoba kekuatannya. Setelah yakin, ia mulai berjalan di atasnya. Perlahan-lahan, sambil mempertahankan keseimbangannya. Di bawah, buaya-buaya itu mengangakan moncongnya, memperlihatkan gigi-giginya, berharap agar Morphy jatuh ke dalam parit! Sambil membentangkan kedua lengannya, Morphy berjalan setapak demi setapak. Akhirnya ia sampai di undakan pintu depan, lalu mendorongnya terbuka dengan suara berderak. Ia masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu di belakangnya. Buaya-buaya di parit menjadi tenang kembali, karena mangsa mereka telah terlepas. Tetapi mata mereka tetap mengintai ke papan, hendak melihat siapa lagi yang akan lewat di jembatan papan. Frank mempertimbangkan untuk mengikuti jejak Morphy. Tetapi ia sadar, bahwa ia akan mudah dilihat dari jendela. Tak ada suara yang terdengar dari dalam. Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara orang di belakangnya. Para pemburu muncul dari dalam hutan, berjalan beriringan menju ke parit. "Ingin juga aku menembaki buaya-buaya ini!" kata Fatso, sambil melihat ke dalam parit. "Sudah! Jangan pikirkan lagi," kata Tom. "Mereka ada di sini untuk melindungi rumah ini, jika boss sedang pergi. Ia tak ingin ada orang yang berkeliaran di sini." Lami mendahului berjalan di atas papan, yang lain mengikuti, seorang demi seorang. Fatso yang terakhir. Papan yang tebal itu berderik-derik menahan berat tubuhnya. Ia selamat juga melintas ke rumah. Mereka masuk ke dalam, dan Frank mendengar suara Morphy menyambut mereka. Tetapi suara itu terlalu jauh baginya, untuk dapat menangkap apa yang mereka percakapkan. Tiba-tiba suara burung hantu memecah kesunyian. Jeritan itu diulang hingga empat kali, masing-masing berantara kira-kira sepuluh detik. Frank tersenyum! Ia tahu, itu tentu isyarat dari Joe. Mereka biasa memberitahukan tempat mereka masing-masing, dengan menirukan suara binatang. Frank merangkak kembali ke dalam hutan, lalu menjawab dengan suara yang sama, diulang hingga dua kali. Beberapa menit kemudian, Joe menyelinap di antara pohon-pohon bakau, lalu menemani kakaknya. Dengan singkat Frank menceritakan keadaan di sana. Akhirnya ia bertanya: "Apakah polisi akan datang?" "Mereka sedang menuju ke perkemahan," kata Joe. "Mereka tidak tahu, di mana rumah batu ini. Tetapi aku telah mengatakan, agar mereka mengikuti jejak kita. Aku harap saja mereka dapat menemukannya." Ia melihat ke bagian depan rumah itu. "Bagaimana kita dapat sampai di sana?" Frank menjelaskan, bahwa parit itu penuh dengan buaya. "Kita harus mencari cara untuk menyeberang," katanya. "Tak mungkin menggunakan papan itu. Tentu akan terlihat. Mari, kita ke bagian belakang. Barangkali ada jalan yang lain." Sambil merangkak-rangkak di daerah batas pohon-pohonan, mereka memutar menuju ke bagian belakang. Di mana-mana pun, parit itu menganga di hadapan mereka, dan papan untuk menyeberang tak dapat mereka temukan. "Kita harus menggunakan siasat, lari pendek untuk menembus pertahanan regu buaya," Joe membanyol. "Wah, kita mudah akan kena perangkap sebelum mencapai garis gol," Frank menimpali. "He, Joe! Aku teringat sesuatu. Ayo, kita keliling lagi." Di belakang rumah, Frank menunjuk sebatang pohon cemara yang tinggi di halaman rumah, tumbuh di tengah-tengah jarak antara parit dan rumah. Ada sebuah cabangnya yang terpotong, mencuat miring ke atas hampir mengenai atap. "Kita dapat melemparkan tali ke cabang itu. Lalu berayun ke seberang," usul Frank. "Bagus! Engkau mempunyai tali?" "Kita dapat membuatnya. Dari sulur pohon-pohonan," jawab Frank. "Itu akal yang bagus!" kata Joe sambil meringis. Dengan cepat mereka memotong-motong sulur-sulur yang tebal dan lentur, lalu diikatnya menjadi satu. Joe mencoba dengan menggantungkannya pada sebuah cabang, lalu bergantung berayun-ayun. "Cukup kuat," katanya. Ujung yang satunya dibuat simpul terbuka menjadi sebuah jerat. "Hebat!" katanya. "Aku dapat menjerat anak sapi dengan ini." "Nah, sekarang cobalah menjerat cabang cemara itu," kata kakaknya. Karena tak ada tanda-tanda adanya orang di belakang rumah, Joe dengan langkah tegak berjalan ke tepi parit. Buaya-buaya di parit bergerak-gerak gelisah melihat ia mendekat, dan membuka moncong mengancam. Tetapi Joe tak memperdulikan. Ia menggulung talinya. Dengan sebelah tangan memegang gulungan, tangan yang lain melontarkan jeratnya. Jerat itu jatuh tepat mengenai cabang yang mencuat dan segera terikat erat. "Tepat juga bidikanmu," kata Frank sambil mendecak-decak. "Kalau salah, terpaksa harus membuat lagi. Buaya-buaya itu tentu akan menelannya mentah-mentah jika terjatuh ke parit!" Joe menyeringai dan membawa ujung tali yang lain ke sebuah pohon. "Kita ikatkan ujung ini pada ketinggian yang sama dengan jerat itu, dan kita dapat bergelantungan menyeberang ke sana." Mereka memanjat pohon yang mereka sebutkan, dan Frank mengikatkan tali itu. Joe mengajukan diri untuk menyeberang lebih dulu. Ia memegang tali, dan terasa agak licin. Dengan menggertakkan gigi, seluruh tenaganya dipusatkan pada kedua lengannya. Setelah Joe berhasil mencapai atap, Frank segera menyusul. Di tengah-tengah perjalananannya, pegangan tangan yang satunya terlepas. Buaya-buaya itu melonjak-lonjak hendak meraih tubuhnya. Untunglah, ia segera dapat menangkap tali kembali, dan dengan hanya lecet sedikit di tangan ia berhasil pula menyeberang. "Wow!" bisiknya. "Mudah-mudahan nanti kembalinya tak perlu lagi dengan cara ini!" "Aku mengerti," kata adiknya. Ia mendahului beringsut ke sudut atap, di mana terdapat pipa talang yang turun ke tanah. "Memang, cara ini adalah cara transportasi yang paling tidak enak!" Dengan hati-hati mereka merosot ke tanah. Sambil menunduk rapat di tembok, mereka mengitari rumah menuju ke sebuah jendela di samping. Dari sana, mereka dapat mendengar suara percakapan. Dengan hati-hati mereka mengintip ke dalam, sebuah kamar berdebu dengan kertas menempel dindingnya telah sobek-sobek. Rontokan plester dinding berhamburan di lantai. Sebuah permadani tergulung bersandar pada dinding, sedangkan semua meja-kursi ditutup dengan kain. Pada suatu tempat di lantai menunjukkan bahwa atapnya telah bocor. "Sungguh mengerikan," bisik Joe. Para pemburu gelap itu duduk di kursi tanpa membuka kain penutupnya. Morphy duduk pada kursi besar, menghadap ke jendela. "Kita ingin menembak buaya," katanya. "Tak ada masalah," jawab Fatso. "Itu kan kehendak boss pula, bukan?" "Tetapi bagaimana sekarang ini?" tanya Lami. Morphy mengangkat bahu. "Kita harus mulai lagi dari permulaan!" Suara langkah kaki terdengar di jembatan papan. Kemudian pintu terbuka dan pendatang itu masuk. "Itu boss datang," kata Morphy, lalu berdiri. Pendatang baru itu segera nampak pula oleh Frank dan Joe. Orangnya pendek, memakai topi yang menutupi dahi. Kaca mata yang hitam membuat wajahnya tak mudah dikenali. Tetapi entah bagaimana, orang itu seperti sudah mereka kenal! "Halo boss!" seru Morphy menyambutnya. "Halo, teman-teman! Aku gembira kalian dapat hadir," jawab orang asing itu. Suara itulah yang mengungkapkan siapa dia! Frank dan Joe dengan segera menjadi tahu, bahwa yang mereka sebut boss itu tidak lain adalah Harrison Wester! Chapter 19 PENJAGA YANG MENYERAMKAN Wester ternyata tidak pincang, dan berjalan tanpa tongkat penopang! "Aku mengubah cara-cara operasi kita," katanya memulai. "Seperti yang kalian ketahui, Nitron telah tertangkap. Ini berarti kerugian yang besar bagiku. Untuk menjaga agar perburuan berjalan lancar, kurasa aku harus menerapkan kontrol yang ketat." "Apakah untuk itu, engkau memanggil kami?" tanya Tom. "Betul. Setiap kelompok telah terlalu bebas bekerja sendiri, selama aku hanya meninggalkan pesan-pesan tertulis. Nitron telah menggunakan orang tanpa sepengetahuanku. Itu merupakan kesalahan yang fatal, dan menyebabkan dia masuk penjara." "Semua itu hanya gara-gara anak-anak Hardy!" Lami menggerutu. "Anak-anak berhidung tajam itu bahkan telah mengikuti kita di Everglades!" kata Fatso. Ia menceritakan, bagaimana Joe dapat meloloskan diri di kubangan buaya, dan bagaimana perahu mereka telah dilumpuhkan dengan menuangkan air ke dalam tangki bensinnya. "Apakah anak-anak muda itu tahu tentang rumah batu ini?" tanya Wester khawatir. "Aku sangsi akan hal itu. Dari mana mereka dapat tahu?" kata Lami. "Mereka sungguh cerdik. Jauh lebih cerdik dari apa yang kuperkirakan. Kalau aku tahu sebelumnya, aku akan mengekangnya lebih ketat," Wester mengaku. "Tak seorang pun tahu, di mana mereka itu akan muncul. Mark, seharusnya engkau jangan melibatkan mereka, dengan cara meninggalkan foto mereka di laci kakakku." Morphy nampak terkejut dan bingung. "Maafkan aku tentang hal itu, boss," ia bergumam. "Aku juga sudah mengatakan kepadamu, agar anak-anak muda itu diawasi dengan ketat!" kata Wester dengan marah. "Aku telah berusaha," Morphy membela diri. "Tetapi Frank melihat aku, pada malam aku menemui engkau di rumahmu. Setelah itu, aku tak berani lagi berada di dekat Smugglers Cove!" "Ya, itu memang suatu alasan," kata Wester sambil berpikir, "Aku telah meninggalkan pesan di rumah, bahwa aku pergi ke Key West. Aku heran, jika anak-anak muda itu dapat menemukan tempat di Everglades ini!" Ia berhenti sebentar sambil menggigit bibirnya. "Kita harus keluar dari sini dengan segera. Tom, aku akan mengirim Morphy untuk menemui engkau di Kota Blanco minggu depan, membawa pesan-pesan selanjutnya. Janganlah berbuat sesuatu sebelum mendengar pesanku melalui dia. Mengerti?" "Baik, boss. Aku akan menyampaikan pesan ini kepada teman-teman yang lain, setelah aku bertemu dengan Tom." "Karena polisi telah melacak kalian, mungkin sekali kalian akan kepergok. Hendaknya kalian berpura-pura sebagai orang yang sedang berkemah. Kukira tak ada sesuatu yang akan mencurigakan. Apalagi senapan-senapan kalian telah hilang." Wester berpaling, lalu melangkah ke jendela. Frank dan Joe dengan segera menunduk rapat pada dinding, masing-masing sebelah-menyebelah jendela. Mereka hampir-hampir tak berani bernapas! Morphy mendekati boss, dan berkata dengan suara rendah. "Tak ada perburuan lagi? Itu suatu usaha yang sangat menguntungkan!" "Akan kita rencanakan lagi, kelak. Tunggu sampai suasana sudah menjadi dingin kembali." "Apakah kakakmu mencurigai sesuatu?" "Raymond?" tukas Wester. "Ia tak tahu sama sekali bahwa aku melakukan usaha-usaha ini! Tetapi ia tahu, bahwa anak-anak Hardy mencurigai engkau dalam pencurian lukisan itu, Mark!" "Aku tak peduli apa yang dipikirkan anak-anak itu," kata Morphy sambil mengangkat bahu. "Aku juga tidak," Wester mengiakan. "Namun, kita harus menyingkirkan mereka lebih dulu, sebelum kita melakukan sesuatu usaha lagi. Mereka, beserta kedua temannya, Hooper dan Morton. Mereka masih ada di rumahku, menurut pengurus rumah tanggaku." "Bagaimana engkau akan menangani mereka?" "Begitu aku sampai di rumah, aku akan mendorong Morton dan Hooper dari batu karang di Smugglers Cove sana. Akan kuatur, agar nampaknya seperti suatu kecelakaan. Sesuatu yang fatal!" kata Wester sambil menyeringai seram. "Sesudah itu kita mengatur perangkap buat anak-anak Hardy." Joe mendekatkan kepalanya kepada kakaknya, lalu berbisik: "Kita harus memberitahu Chet dan Biff!" Gerakan itu tertangkap oleh mata Wester. Ia memergoki kedua pemuda itu! "Anak-anak Hardy ada di luar!" ia berteriak. "Jangan lepaskan lagi mereka! Lemparkan ke dalam parit bersama-sama dengan buaya!" Pemburu-pemburu itu berlarian di ruangan. Sementara itu kedua detektif muda itu lari meninggalkan jendela. "Lari kita memanjat lagi ke atap!" Joe mendesak. Ia berlari ke arah pipa talang yang terdekat. Ia memanjat, menginjakkan kaki-kakinya pada dinding. Tetapi Frank mempunyai pikiran lain. Sebelum mengikuti adiknya, ia berlari ke pintu parit yang dapat dinaik-turunkan, lalu mengangkatnya terbuka sampai terkait pada kuncinya. Pintu itu merupakan jalan keluar bagi buaya-buaya di dalam parit. Dengan segera seekor buaya merangkak keluar melalui pintu itu. Frank berlari sekencangnya ke pipa talang, lalu memanjat. Ia sempat mendengar suara moncong yang runcing itu terkatup marah di bawah kakinya! Sementara itu, pemburu-pemburu gelap itu berlarian ke pintu depan. Tom Lami membukanya, lalu terhenti dengan terkejut. Halaman di depannya telah penuh dengan buaya! Beberapa ekor lagi sedang merayap keluar dari pintu parit, merangkak-rangkak di rumputan. Seekor lagi bahkan telah mulai merayap di tangga serambi, kedua matanya menyala-nyala menatap pemburu yang ketakutan itu. "Kembali!" Lami berteriak. Tetapi orang-orang di belakangnya, yang tak menyadari bahaya, tetap mendesak ke depan, dengan semangat yang berkobar-kobar hendak mengejar Frank dan Joe. Lami bertahan dengan kedua tangannya pada ambang pintu dengan kuat-kuat. Dengan sekuat tenaganya ia balas mendesak ke belakang, ngeri kalau sampai terdesak ke moncong buaya! Akhirnya orang-orang di belakangnya mulai sadar akan bahaya tersebut. Mereka berbalik mundur ke dalam. Dengan segera Lami membanting pintu hingga tertutup. Buaya itu meluncur di serambi, dan menabrak pintu dengan suara bergedobrak. Papan pintu itu retak, dan cakar buaya itu menggapai-gapai ke dalam! Wester dan orang-orangnya memandangi dengan ketakutan, mengawasi cakar buaya itu tersembul di lubang retakan pintu. "Lebih baik lari ke atas!" teriak Tom. "Coba dulu pintu belakang," seru Morphy. "Mungkin kita dapat menyeberangi parit di belakang, kalau buaya-buaya itu hanya berkumpul di depan semua. Ada papan lain di kamar kecil. Dapat digunakan untuk menyeberang!" Ia berlari ke belakang, diikuti oleh semua orang. Ia membuka pintu dapur, tetapi halaman di depannya juga sudah penuh dengan buaya! Dengan marah Morphy membanting pintu. "Tak mungkin lagi!" ia berseru kepada teman-temannya. "Buaya-buaya itu telah memenuhi seluruh halaman!" Wester menggeleng. "Aku telah memberikan seluruh sisa perbekalanku minggu yang lalu. Tak ada jalan lain untuk mengalihkan perhatian mereka. Kecuali kalau ada yang mau dengan sukarela" Kata-kata itu membuat gerombolan itu gemetar. Sementara itu, di atap, Frank mengawasi buaya-buaya yang berkeliaran di halaman. "Jangan sampai jatuh!" Frank memperingatkan adiknya. "Nanti engkau akan menjadi bistik lengkap bagi mereka!" "Tidak lucu!" adiknya menggerutu. Mereka merangkak menuju ke tali yang melintang antara kedua pohon. Itulah jalan satu-satunya untuk melepaskan diri! Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di udara. Beberapa detik kemudian nampak sebuah helikopter, berputar-putar di atas mereka. Pada sisinya terpampang: Polisi Suaka Margasatwa Everglades. Kedua pemuda itu terpukau melihat helikopter itu. Dengan bersemangat mereka melambai-lambaikan tangan. Karena khawatir tak terlihat oleh pilotnya, Frank mengambil saputangannya dan minta saputangan adiknya. Dengan kedua helai saputangan itu ia membuat isyarat-isyarat semafor. Huruf-huruf itu berbunyi: Pemburu gelap ada di sini. Helikopter itu berputar rendah di atas atap, dan pilotnya melambaikan tangannya, menandakan bahwa ia telah menangkap isyarat tersebut. Kemudian ia terbang menjauh untuk memanggil bantuan. "Bagaimana kita sekarang?" tanya Joe. "Kita dapat tetap tinggal di sini, menunggu polisi datang. Atau kembali menyeberang lewat tali." "Aku tidak tergila-gila untuk main tambang," jawab Joe. "Tetapi itu satu-satunya cara terbaik untuk melepaskan diri. Kemudian kita buang saja papan penyeberangan, agar buaya-buaya itu jangan berkeliaran keluar." "Engkau benar," kata kakaknya. "Pegang kuat-kuat, agar jangan menjadi santapan binatang kesayangan Wester." Dengan memusatkan segala perhatian dan tenaga, mereka berhasil mencapai pohon di seberang. Mereka beristirahat beberapa menit di atas pohon, kemudian baru turun. Papan penyeberangan itu mereka tarik, dan untuk beberapa saat mereka mengawasi keadaan di dalam rumah. Buaya yang ada di pintu depan telah menghentikan usahanya untuk mendobrak pintu. Tetapi ada tiga ekor lagi yang telah sampai pula di serambi. Bahkan dua ekor lagi berbaring-baring di tangga! Binatang-binatang yang lain tetap berkeliaran di halaman. "Suatu penjara yang istimewa bagi mereka!" kata Joe sambil tersenyum senang. "Mereka tak mungkin dapat keluar, selama buaya-buaya itu yang menjaganya!" "Aku pun tak bisa!" kata kakaknya. "Sekarang kita tinggal menunggu bantuan." "Mudah-mudahan tidak terlalu lama," Joe menghela napas. "Bagaimana pun, hewan-hewan itu membuat aku gugup." "Begini saja," kata Frank memberikan saran. "Kita cari buah hutan. Aku memang sudah lapar." "Aku juga," kata adiknya setuju. Ia menjadi sadar, bahwa mereka belum makan sejak pagi. Setelah cukup mengumpulkan buah-buahan, lalu duduk bersandar pada sebatang pohon, sambil menjaga jangan sampai tertidur. Mereka memang telah terlalu lelah menghadapi pengalaman-pengalaman pada hari itu. Akhirnya, kira-kira satu jam kemudian, polisi datang. Semuanya ada sepuluh orang, dipimpin oleh seorang letnan yang memperkenalkan diri bernama Dennis Mishkin. "Kami mendapat petunjuk-petunjuk tentang perkemahan itu dari markas," katanya. "Tetapi ketika sampai di sana, kami tak tahu arah mana yang harus kami ambil. Sebab jejak-jejak kaki terlalu bersimpang siur di sana. Karena itu kami minta bantuan sebuah heli untuk menyelidikinya." "Kami gembira, anda berbuat demikian," kata Frank. "Kami juga berhasil menarik perhatian pilot heli." Letnan Mishkin mengangguk. "Ia memberitahukan keadaanmu melalui radio. Bagaimana keadaannya sekarang?" Kakak beradik itu menjelaskan; bagaimana buaya-buaya itu telah menjebak mereka di dalam rumah batu di seberang parit. "Kami selalu siap untuk menghadapi buaya," kata letnan itu. Ia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil sekarung besar daging. Mereka melemparkan gumpalan-gumpalan daging itu ke dalam air. Buaya-buaya itu bereaksi dengan sangat cepat. Mereka berlarian menuju ke pintu parit, masuk ke dalam air. Semuanya saling desak-mendesak, sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Moncongnya terkatup-katup, sambil mendesis-desis dan meraung-raung. Sampai di parit, mereka menyerbu daging itu dengan rakusnya. Kepalanya berayun-ayun merobek-robek, dan potongan-potongan daging itu lenyap sekali telan. Joe memasang papan penyeberang, lalu berlari ke pintu parit untuk menutupnya kembali. Kembali buaya-buaya itu terkurung di dalam parit. Chapter 20 LUKISAN YANG DISEMBUNYIKAN Lami mengawasi segala yang terjadi itu dari jendela. "Polisi sudah sampai!" ia berteriak kebingungan. "Anak-anak Hardy itu bersama mereka!" Fatso melenguh. "Mereka telah mengandangkan buaya-buaya itu kembali." Sisa anggota gerombolan itu menjadi panik. Takut dan bingung, mereka hanya dapat saling berteriak. Suara itu memuncak menjadi hingar bingar ketika polisi menyerbu ke pintu, masuk ke dalam dan menguasai para pemburu gelap. Selama terjadi kekalutan itu, Wester menyelinap ke pintu belakang. Frank dan Joe melihatnya, lalu berlari mengejar ke dalam dapur. Wester berhasil membuka pintu. Ia berlari-lari turun di tangga, lalu keluar ke halaman, dikejar ketat oleh Frank dan Joe. Frank lalu berlari ke arah yang berlawanan, untuk mencopot papan penyeberangan, sebelum Wester dapat mencapainya. Papan dibuangnya, tepat pada waktu raja penyelundup itu datang dikejar Joe. Wester berhenti dengan tiba-tiba di tepi parit. Seekor buaya memandanginya. Buaya itu mencakar-cakar tanah dengan kaki belakangnya, dan bagian depan tubuhnya merayap ke tebing parit. Moncongnya terbuka lebar-lebar. Tiga ekor lagi mengikuti di sampingnya. "Hendak menyeberang boss?" tanya Frank dengan geram. "Engkau menang," kata Wester lesu. Ia membalikkan tubuh, lalu berjalan kembali ke rumah batu. Frank dan Joe mengikutinya di kedua sisi, menjaga agar tawanannya jangan berusaha melarikan diri. Kakak beradik itu membawa tawanannya ke kamar depan, para polisi sedang menggeledah pemburu-pemburu gelap itu. "Sampai sekian jauh, kami belum menemukan petunjuk-petunjuk yang memberatkan," kata letnan Mishkin. "Tutup mulut!" Wester memperingatkan anak buahnya. Polisi lalu menggeledah dia, memeriksa buku catatan yang terdapat di dalam sakunya. Di dalamnya tertulis catatan-catatan pribadinya. Tetapi tak satu pun yang mengungkapkan sesuatu yang berhubungan dengan penyelundupan atau perburuan gelap. "Anda tak menemukan apa-apa pada saya!" Wester menukas. "Ini semua hanya kata-kata anak Hardy, untuk memburuk-burukkan saya. Selain itu, anda tak mendapatkan bukti-bukti! Polisi tak mempedulikannya. Sementara letnan Mishkin menjaga para tawanan yang telah dibelenggu, anggota polisi yang lain menggeledah seluruh isi rumah. Tetapi mereka kembali tak berhasil. Mereka kembali ke kamar duduk dengan kecewa. Pada saat itu Frank melihat secarik kertas di lantai, di bawah kertas penempel dinding yang sobek. Ia memungutnya, lalu membaca: Kalung berlian - (Egret Island) "Inilah perintah Wester kepada Ignas Nitron," kata Frank tegang. "Untuk merampasnya dari tangan profesor Viga!" Joe menjelaskan pengalaman kakek ahli kimia itu dengan para penyelundup, sementara Frank mencocokkan kertas itu dengan buku catatan Wester yang terbuka di meja. "Kertasnya sama!" ia berseru. Letnan Mishkin memeriksa barang bukti itu. "Engkau benar!" ia mengiakan. "Nah, inilah bukti yang kita perlukan! Tetapi mengapa Wester meninggalkan perintah untuk Egret Island di Everglades sini?" "Apakah anda mau mengatakannya, boss?" tanya Frank kepada pemimpin gerombolan itu. "Tak ada yang perlu kukatakan!" tukas Wester. Tetapi Mark Morphy ingin mengambil hati polisi. "Jika saya melaporkan segala sesuatu yang saya ketahui, apakah saya dapat diperlakukan sebagai saksi saja?" "Saya tak dapat berjanji," kata letnan itu. "Tetapi kerjasama selalu menguntungkan. Sebelum anda mulai, akan saya sebutkan dulu hak-hak anda menurut hukum. Wester menatap wajah anak buahnya, yang sedang menerima petunjuk dari letnan, bahwa ia berhak untuk tidak mengatakan sesuatu sebelum merundingkan dengan pengacaranya. Tetapi Morphy sudah ketakutan, dan bersedia untuk bercerita. "Tuan Wester menginginkan lebih banyak mempunyai koleksi lukisan" ia memulai. "Karena itu ia berkeputusan untuk melakukan penyelundupan dan perburuan gelap. Kesemuanya itu demi untuk mendapatkan uang." "Tutup mulutmu!" bentak Wester. Morphy tak mempedulikan pemimpinnya. "Karena itu ia mengajak saya dalam usahanya. Ia mengatur komplotan yang dipimpin oleh Nitron dan Tom Lami. Tetapi ia sendiri tak ingin diketahui. Ia hanya meninggalkan pesan-pesan di rumah batu ini." "Bagaimana ia bisa mendapatkan rumah ini?" tanya Frank. "Aku tak tahu. Rumah ini sudah ditinggalkan orang sejak berpuluh-puluh tahun. Kukira, ia hanya secara kebetulan saja menemukannya, ketika sedang menyelidiki daerah Everglades ini." "Kakinya yang pincang ketika bertemu dengan kami itu, hanya pura-pura saja?" tanya Joe. "Memang. Dengan demikian, tak seorang pun yang akan mencurigai dia, hingga dapat keluyuran ke mana-mana di hutan." "Apa yang terjadi, setelah Nitron dan Lami menerima pesan-pesan itu?" tanya Frank. "Seharusnya Ignas dan Tom membakarnya," jawab Morphy. "Tetapi Ignas meninggalkannya begitu saja karena lupa." Wester tak dapat menahan kesabaran lagi. "Nitron itu tolol, sinting!" ia meledak marah. "Mula-mula ia meninggalkan sidik jari ketika mengambil potret Simon Bolivar di Bayport. Kemudian ia lupa membakar pesan tentang Egret Island!" "Mengapa anda menyuruh mencurinya? Padahal kakak anda memberikannya kepada anda?" tanya Frank. "Mungkin, anda mengharap mendapatkan santunan dari asuransi," sambung Joe. "Jadi anda mendapatkan uang sekaligus lukisannya!" Mata Wester yang menunjukkan rasa bersalah mengungkapkan, bahwa terkaan Joe adalah benar. Meskipun ia tak mengakui kenyataan itu. "Bagaimana Tom Lami bisa mendapatkan pestol anda?" tanya Frank. "Tuan Wester memberikannya kepadaku," kata Morphy dengan sukarela. "Aku lalu memberikannya kepada Tom." "Apakah nyonya Summers terlibat dalam rencana anda?" tanya Joe ingin tahu. Ia teringat, bagaimana tingkah laku nyonya itu mencurigakan. "Engkau bercanda?" sahut Morphy. "Ia bahkan sangat membenci aku. Di samping itu, ia merasa sebagai anjing penjaganya tuan Raymond Wester. Yang tugasnya menjaga keselamatan harta dan jiwa tuannya. Karena itu selalu membentak-bentak siapa saja yang berani memasuki rumah majikannya!" "Saya ingin bertanya sekali lagi," kata Frank. "Di mana potret Simon Bolivar berada?" Morphy mengangkat bahu. "Aku tak tahu sama sekali." "Aku juga tak akan mengatakannya kepadamu!" Wester menjerit. "Tak seorang pun yang tahu, kecuali aku. Kalau engkau memang cerdik, carilah sendiri!" Percakapan selanjutnya tak menghasilkan apa-apa. Letnan Mishkin lalu berdiri. "Kami akan membawa tawanan-tawanan ini," katanya. "Nah, hari-hari libur mereka untuk berburu sudah berlalu." Kemudian ia berpaling kepada Frank dan Joe. "Seharusnya salah satu Lembaga Penyayang Lingkungan Hidup memberikan sebuah medali kepada kalian. Kalian telah membantu kelestarian hewan yang menuju kepunahan, yaitu buaya Everglades. Heli kami ada di perkemahan. Kalian dapat ikut ke Flamingo dengan heli kalau mau. Kami akan mengembalikan perahu dan perlengkapan kalian menyusul kemudian." Kakak beradik itu menerima tawaran tersebut. Semua yang ada di rumah batu itu lalu keluar. Seorang demi seorang mereka menyeberang di papan. Sementara buaya-buaya itu selalu siap untuk menerima siapa saja yang jatuh ke dalam parit. Tetapi semuanya berhasil menyeberang dengan selamat. "Aku akan menyuruh memindahkan buaya-buaya ini ke kubangan buaya," kata letnan. "Kukira, dari sanalah asal mereka." "Itu memang betul," kata Morphy. "Tom dengan anak buahnya yang menggali parit itu atas perintah tuan Wester. Lalu memindahkan buaya-buaya itu kemari." "Kami mengira, bahwa tak seorang pun dapat menyeberanginya," kata Fatso. "Tetapi anak-anak Hardy itu mempunyai cara lain. Bagaimana itu kalian lakukan?" ia bertanya kepada Frank dan Joe. "Kami menggunakan tambang yang telah disediakan oleh alam. Lalu mengikatkannya pada dua batang pohon," jawab Joe sambil menunjukkannya. "Lihatlah itu!" Fatso melirik. "Kalian tentu sering nonton film Tarzan!" Rombongan itu berjalan ke perkemahan pemburu. Di sana kakak beradik itu meletakkan segala perlengkapan mereka, termasuk sepatu boot mereka, ke dalam perahu sewaan mereka. Perahu para pemburu beserta perahu biru juga masih ada di sana. Polisi lalu menariknya, setelah para tawanan digiring ke kapal patroli. Mereka segera mengirimkan pesan radio tentang tawanan-tawanan mereka, lalu berangkat menyusuri sungai Tributary. Sementara itu Frank dan Joe naik ke helikopter. "Untung sekali aku melihat kalian di atap," kata pilot. "Demikian juga kami," kata Frank. "Kalau tidak, kami tak dapat menangani para pemburu dan sekaligus buaya-buaya itu." Heli mengudara. Kedua kakak beradik itu melihat, bagaimana daerah itu membentang bermil-mil luasnya. Berupa sebuah jaringan dari rawa-rawa, rumput tinggi, hutan bakau dan sungai-sungai kecil yang berkelok-kelok di sela-sela belantara. Setelah mendarat di Flamingo, mereka berjabatan tangan dengan pilot. "Terimakasih boleh menumpang," kata Frank. "Kami sungguh gembira, karena bisa kembali lebih cepat daripada naik perahu. Pilotnya tersenyum. "Aku juga sangat senang. Lain kali, kalau kalian ke Everglades lagi, jangan lupa mampir ke tempat kami. Kalau kami mendapat gangguan dari pemburu gelap lagi, kami tentu akan memanggil kalian!" **** Setelah makan roti berisi daging panggang dengan lahapnya, kakak beradik itu naik ferry ke Key Blanco. "Aku heran dengan pak Wester itu! Tega-teganya mencuri lukisan dari kakaknya sendiri!" kata Joe. Frank mengangguk. Hal ini tentu sangat mengejutkan pak Raymond, jika ia telah mengetahuinya. Lagi pula, kita tak berhasil membawa pulang lukisannya!" Setelah ferry ditambatkan di kota Blanco, mereka berjalan kaki ke rumah pak Wester di Smugglers Cove. Pengurus rumah tangga membukakan pintu. "Kami mendengar dari radio, bahwa tuan Wester ditangkap!" katanya menggagap. "Aduh! Kami tak tahu sama sekali tentang kegiatan kejahatannya! Percayalah!" "Harrison West memang sangat cerdik," kata Frank. "Ia dapat menutupi segala jejaknya dengan rapi sekali." "Hebat kalian yang dapat mengungkapkannya!" kata nyonya itu. "Kebetulan saja kami menemukan markasnya di Everglades," jawab Frank merendah. "Tetapi yang paling berjasa mengenai penangkapan itu ialah Polisi Suaka Margasatwa Everglades. O, ya! Apakah Chet dan Biff ada di rumah?" "Ada," kata nyonya itu. "Mereka,ada di belakang." Frank dan adiknya menjumpai kedua temannya itu sedang bersantai-santai di kursi malas, memandangi matahari yang sedang terbenam. Chet melompat bangun ketika melihat mereka datang. "Selamat datang!" serunya menggeledek; "Kami mendengar, kalian telah berhasil memecahkan perkara itu!" Frank dan Joe menceritakan segala yang telah terjadi. Wajah Chet berseri-seri. "Aku sungguh bangga terhadap kalian!" katanya. "Sayang sekali kami tak berkesempatan untuk membantu. Tak menyenangkan terdampar di tempat ini, tanpa berbuat apa-apa!" "Tetapi wajahmu tak menunjukkan kesedihan!" kata Joe, sambil menunjuk ke sebuah gelas tinggi berisi limun, dan piring berisi sisa-sisa Cherry Pie "Menurut aku, sesungguhnya kalian ini sedang berlibur!" "Aku terus terang! Kami memang melakukan olahraga menyelam sedikit," kata Chet malu-malu. "Aku berpikir, menyelidiki daerahnya dulu sebelum kalian pulang. Kalian tentu ikut, bukan?" "Terdengarnya enak sekali," kata Joe. "Tetapi perkara kita belum selesai!" Biff memukulkan tinju kanannya ke dalam tangan kirinya. "Kalian belum menemukan lukisan itu?" "Itulah," jawab Frank. "Wester mengaku, bahwa ialah yang mengatur pencurian. Tetapi ia tak memberitahu, diapakan lukisan tersebut." "Yaah, tetapi setidak-tidaknya kalian telah membersihkan nama kalian," kata Chet. "Meski pun kalian tak tahu di mana lukisan itu, tetapi kalian telah membuktikan, bahwa bukan kalian yang mengambilnya." "Tetapi kami belum mau melepaskan perkara ini," kata Joe dengan pasti. "Ya! Tetapi kalian tak tahu di mana mencarinya!" kata Chet. "Menurut penglihatanku, kalian telah kehabisan petunjuk-petunjuk!" Kakak beradik itu mengangguk lesu. Mereka tidak saja kecewa karena kegagalan mereka, tetapi juga bertanya-tanya dalam hati, apakah masih ada perkara-perkara lain yang akan mereka tangani. Mereka tak menyadari, bahwa segera pula mereka akan terlibat dalam perkara lain. Tiba-tiba Joe melompat bangun. "Nanti dulu!" katanya. "Aku baru saja mendapat akal. Mari ikut semua!" ia memimpin teman-temannya menuju ke kamar duduk, lalu mendekati tempat perapian. Ia menjangkau ke atas, menurunkan lukisan pemandangan, lalu memeriksanya. "Lho! Apa maksudmu ini?" tanya Biff. "Memeriksa bingkainya," jawab Joe. "Seperti yang telah kusangka, bingkai ini pernah dibuka." Ia menekan sudut-sudutnya, dan mencoba melepaskannya. Lukisan pemandangan itu tetap melekat di bingkainya, tetapi selembar kanvas yang lain jatuh melayang ke lantai! Joe memungutnya. Teman-temannya melihat lukisan wajah seorang laki-laki dengan potongan yang tajam, berambut hitam dan pandangan yang tegas. Ia mengenakan seragam perajurit kuno berleher tinggi, dan tanda pangkat pada pundaknya. "Wah! Aku hampir tak percaya!" seru Chet. "Apakah ini potret Simon Bolivar itu?" "Aku yakin ini", jawab Frank. "Aku sudah sering melihat gambar-gambarnya di buku-buku. Wajahnya juga demikian ini!" Biff menggaruk-garuk kepalanya. "Bagaimana engkau tahu mencari dengan cara begitu, Joe?" "Pak Wester adalah penggemar benda seni," jawab Joe. "Aku yakin, bahwa ia ingin sekali memiliki lukisan itu, dan menyembunyikan di tempat yang aman, setelah menerima uang asuransi." "Tetapi ia memiliki banyak sekali lukisan!" kata Chet. "Apa sebabnya engkau secara khusus memeriksa lukisan yang satu ini?" "Engkau ingat? Ketika kita pada malam pertama berada di sini? Pada waktu itu pak Wester menyebutkan, bahwa lukisan yang hilang itu sama besarnya dengan lukisan pemandangan ini. Ia juga mengatakan, bahwa ia ingin menggantungkannya berdampingan. Malah ia berkata lagi kemudian: „Aku seperti sudah melihatnya sekarang ini." Itu merupakan suatu sindiran khusus terhadap kita!" "Sudah tentu!" Chet memukulkan telapak tangannya ke dahinya. "Mengapa aku tak berpikir ke situ?" Frank tertawa kecil, lalu memandangi lukisan itu. "Simon Bolivar," katanya. "Pembebas Amerika Selatan!" "Dibebaskan oleh Joe Hardy!" sambung Biff. END ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu